42 - DIAM

67 9 6
                                    


HAY TEMAN TEMAN

MAAP BARU MUNCUL KE PERMUKAAN

POKOKNYA BEBERAPA CHAPTER LAGI MENUJU ENDING

TEBAK BAKALAN HAPPY ENDING

OR

SAD ENDING?

LANGSUNG AJA

SELAMAT MEMBACA


*****************************************

SETELAHNYA tak ada lagi obrolan seperti biasanya di kamar Khadijah. Mimin lebih sering bersama Ipeh di kamar Fatimah, sedangkan Dinda ia tak menghindar dari temannya tapi juga tidak menanggapi atas kehadiran temannya.

Berkali kali Cipa mendekat untuk menjelaskan ulang mengenai pesan whatsapp Andro juga mengenai hubungan mereka, namun Dinda tidak menggubrisnya.

Cipa mengatakan alasan dia diam diam menyimpan nomor Andro adalah karena takut Dinda melarangnya, juga perihal pesan yang Andro kirim, ia meminta tolong untuk mengerjakan tugas sekolah. Hal itu Cipa lakukan karena Andro adalah orang yang ia sukai, tapi dia berani bersumpah tak pernah membantu Andro dalam hal apapun selain tugas sekolah.

Percuma saja berkali kali Cipa berbicara hingga mengeluarkan busa, Dinda tak akan pernah meresponnya. Entah mengapa ia lebih memilih diam. Rasanya sudah terlalu sakit mempunyai teman yang dengan mudahnya menghindar karena percaya dengan fitnah yang ditujukan padanya ditambah lagi pelakunya adalah temannya sendiri. Dinda sungguh tak habis pikir dengan jalan pikiran Cipa.

Ia hanya menghela napas kasar di atas kasurnya sesekali mengubah posisi tubuhnya yang sejak tadi belum merasakan kantuk.

Ketika rasa kantuk menyerang, Dinda malah tidak bisa memejamkan matanya sekalipun. Badannya bergulir ke kanan dan ke kiri menahan diri untuk tidak pipis di malam hari. Jam dinding menunjukkan pukul 00.10 WIB, Dinda tidak mau apa yang terjadi beberapa bulan lalu terjadi lagi, meskipun ketakutannya adalah karena ulah Fika, Dinda bersumpah akan menahannya.

Cklekkk.....

Setidaknya setelah ia mendengar pintu kamar terbuka dan Mimin keluar dari kamar.

"Min, mau pipis ya? Tunggu!" Namun sayang orang yang diajak Dinda bicara justru berjalan lebih cepat, sepertinya tak mendengar Dinda berbicara padanya.

Tak berlama lama, Dinda bergegas turun dari kasurnya mengikuti langkah Mimin dengan buru buru menuju koridor asrama yang minim penerangan karena beberapa lampu dipadamkan.

"Min?" panggil Dinda saat langkahnya tiba di depan barisan kamar mandi.

Tak ada tanggapan dari temannya, tak ada suara guyuran air juga dari kamar mandi. Matanya menatap jelas satu persatu kamar mandi yang pintunya terbuka. Tak ada satupun kamar mandi yang tertutup.

"Jangan jangan itu tadi bukan Mimin?" ratap Dinda dalam hati membuat bibirnya bergetar.

Seketika angin malam menerpa tubuh Dinda yang terbalut piyama warna pink membuat bulu kuduknya meremang begitu saja, degup jantung yang semula berdetak dengan normal kini bekerja lebih cepat. Ia melangkahkan kakinya mundur dengan tatapan penuh takut. Secepat kilat, ia membalikkan badan dan berlari dengan kencang melewati koridor asrama yang gelap.

Langkahnya terhenti kala mendapati pintu ke arah jemuran terbuka begitu saja, mana mungkin pengurus lalai menutupnya, dan mana mungkin juga pintunya aku terbuka begitu saja karena angin. Namun Dinda tak ambil pusing dengan hal tersebut, ia segera membuka pintu kamarnya dan mengunci rapat rapat.

"Assalamu'alaikum Zein, Aku Dinda" (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang