43 - HONGKONG

82 12 5
                                    

Sebelum Baca Jangan Lupa Do'a

Selesai Baca Jangan Lupa Kasih Komen Yaaaaa

Selamat membaca

*****************************************

DINDA hanya bisa menghela napas kala memandang beberapa santri yang wira wiri menyiapkan beberapa barang yang akan mereka bawa pulang, ada juga yang sudah bertemu orang tua mereka yang menjemputnya.

Berada di kamar sama saja rasanya, melihat kedua temannya beberes menyiapkan kepulangan mereka untuk berlibur.

"Din, Tante lo nggak kasih kabar?" tanya Mimin memecah keheningan di kamar Khadijah.

Dinda hanya menggelengkan kepala tanpa mengangkat suara. Melihat respon yang diberikan, Mimin mendekat untuk duduk memebersamai Dinda sedangkan Cipa  sibuk menata barang. Bukan tak mau mendekat, tapi Cipa cukup tahu kehadirannya tidak akan di respon oleh Dinda.

"Sabar, ya Din." Mimin mengusap halus punggung tangan Dinda.

"Iya, sante aja. Udah sana pulang, awas kalo nggak bawa oleh oleh!" jawab Dinda berusaha santai tak memperlihatkan kesedihannya.

"Iya, Mama gue udah di ruang tamu katanya." ucap Mimin sambil menggendong tas ranselnya.

"Pamit dulu ya, Dinda, Cipa." pamit Mimin sambil bersalaman dan memeluk mereka masing masing, kemudian melangkahkan kaki keluar kamar menyisakan Dinda dan Cipa.

"Fii amanillah, Min." ucap mereka serentak sambil memandangi kepergian Mimin.

Keduanya sempat bertatap beberapa detik saat menyadari ucapan mereka bisa sama dan bareng. Dinda menghela napas kemudian beranjak dari duduknya, namun tangan Cipa mencegah langkah Dinda untuk keluar kamar.

"Din."

Dinda menepis kasar cekalan Cipa.

Tak ada jawaban dari Dinda, ia hanya mengacuhkan pandangan dari Cipa.

"Sebenernya, Papa Mama gue baru ke Jakarta dan gue bisa aja nemenin kamu di sini, tapi liat sikon kita kaya gini terpaksa gue pilih pulang aja ke rumah Nenek daripada kehadiran gue malah ganggu lo." jelas Cipa pelan pelan berharap temannya mengerti jika bukan dia yang melakukan semuanya.

Dinda hanya menganggukkan kepala, seakan mengiyakan ucapan Cipa. Padahal dalam lubuk hati yang paling dalam, ia juga sedih akan sendirian di kamar tanpa teman selama dua minggu liburan.

"Oiya, kunci kamarnya nih." Cipa menyerahkan kunci kamar yang diterima baik oleh Dinda tanpa memandang mata Cipa.

"Kunci cadangan ada dua, satunya di bawa Mimin, satu lagi di ruang pengurus. Jadi kalo ada apa apa minta ke pengurus aja."

Lagi lagi Dinda hanya menganggukkan kepala. Sungguh rasanya tidak enak dengan keadaan yang seperti ini. Ia juga berharap jika bukan Cipa yang melakukannya, namun semua bukti ada padanya.

"Yaudah, gue pamit, ati ati ya Din." ucapnya sembari berlalu meninggalkan kamar membawa satu ransel warna pink yang biasa Cipa gunakan untuk sekolah.

Dinda melepas kepergian Cipa tanpa memandang temannya yang berlalu. Tangannya menggenggam erat kunci yang diberikan padanya. Terlalu baik jika Cipa yang melakukan ini semua. Setelah ini semua, Cipa masih peduli ingin menemani Dinda di pesantren dan bahkan selalu menjelaskan semuanya meskipun tak mendapatkan jawaban apa apa dari Dinda. Apalagi pesan Cipa untuk Dinda agar berhati hati, sungguh membuat Dinda tak yakin jika dia pelakunya.

Bukankah seharusnya Dinda yang mengatakan hati hati pada temannya yang akan pulang liburan?

Dinda mematri langkah keluar kamar menuju lantai 3, dimana ia bisa menghirup udara segar dengan angin yang sepoi sepoi di area jemuran.

"Assalamu'alaikum Zein, Aku Dinda" (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang