46 - Cinta?

2.8K 380 97
                                    

Ngga ada henti-hentinya aku mengucapkan terima kasih buat kalian yang masih mau setia baca. Jujur, part kemarin itu aku ngga ada harapan apapun, karena aku ngerasa itu part flat banget, wkwk. Maaf, ya.

Tapi ternyata, vote dan komentar pun tetep banyak. Makasih, makasih, makasih<3

Dan sebenarnya aku mau update besok malam, tapi kayaknya lebih baik malam ini.

Selamat membaca!

-

Sekitar pukul dua siang, Nara sudah sampai di rumahnya kembali. Dokter Vania sudah memperbolehkan Nara pulang karena keadaannya berangsur membaik. Namun, tetap saja, Nara harus melakukan pemeriksaan atau check up secara berkala. Setelah turun dari mobil, dengan sigap Bian menghampiri Nara untuk menjaga istrinya itu.

"Pelan-pelan jalannya," tegur Bian pada Nara yang sudah berjalan gontai beberapa langkah di depannya.

Nara pun memberhentikan langkahnya kemudian menoleh ke arah Bian. "Ini udah pelan," jawab Nara menyeringai.

Bian pun berjalan untuk mendekat ke arah Nara. "Kamu itu sekarang apa-apa harus dijaga, inget kandungan kamu lemah kemarin," tegur Bian lagi dan lagi.

Nara hanya menghela napas. Keposesifan suaminya dimulai dari detik ini. Dia harus bersiap ketika bergerak sedikit Bian akan menegurnya.

"Iya, iya, iya," jawab Nara sambil memelankan langkahnya. Bian hanya mengekor di belakangnya seolah menjadi bodyguard.

-

Kamar Bian

Nara sudah bersandar di sandaran tempat tidur miliknya. Dia hanya menggulir layar ponselnya dan berniat memberi kabar kepada Anin. Bian sedang berada di dapur mengambilkan Nara satu gelas air putih.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Gimana kabar kamu? Aku denger dari Pak Bian kamu di rumah sakit, ya?" kata Anin di seberang sana.

Nara hanya tersenyum, ternyata berita dia dirawat di rumah sakit sudah sampai pada Anin. "Iya, udah pulang, kok. Ngga papa, udah sehat. Aku yang minta maaf, beberapa hari ini malah ngga bantuin kamu," jawab Nara.

Jika boleh jujur, Nara merasa tak enak hati sendiri. Dulu pernikahannya benar-benar diurus oleh Anin dari yang benar-benar belum ada persiapan apapun hingga hari H. Sekarang, gilirannya yang seharusnya membantu, malah tidak bisa apa-apa.

"No, no, no, ngga perlu minta maaf. Calon ponakanku lebih penting dari sekadar persiapan pernikahanku ini. Lagian masih banyak orang, kok," jawab Anin.

Nara besyukur, dikelilingi orang-orang baik yang dapat mengerti segala situasi dan kondisinya. Walaupun pada kenyatannya, dia yang tak enak hati sendiri karena selalu merepotkan orang lain. Namun, apa boleh buat? Keadaan yang memaksanya harus seperti ini.

Belum sempat Nara menjawab, Bian sudah masuk ke kamar kembali dengan nampan berisi makan siang untuk Nara. Bian letakan itu di nakas dan duduk di pinggir kasur sambil melihat istrinya yang sedang bercengkerama dengan Anin.

"Ya, udah, aku bakal bantu sebisa aku, ya. Maaf kalau aku malah jadi ngga bantu apa-apa, ya," kata Nara dengan nada sedih.

"Ih, dibilang ngga papa. Kamu harus sehat dulu, harus kuat dulu, baru boleh bantuin aku lagi. Kalau belum, ngga, ngga bakal aku ijinin kamu bantuin aku. Makan yang banyak, jangan lupa check up, olahraga ringan juga, moodnya harus selalu bahagia, ngga mau, ya, aku denger ada drama kamu nangis-nangis," jawab Anin sambil tertawa yang membuat Nara tertawa juga.

"Iya, bawel banget sahabat aku. Doain aku sehat, ya, biar bisa dateng ke pernikahanmu minggu depan,"

"Iya, aku selalu doain, kok. Doain aku juga persiapannya lancar sampe hari H. Eh, btw udah dulu, ya, aku mau persiapan meeting, nih,"

Amerta - [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang