48 - A Thousand Years

2.8K 371 82
                                    

Halo, hai, aku kembali!

Sungguh, kemarin jadi hari yang berat menurutku. Ngga tahu, deh, lagi mageran banget, hihi. Apa mungkin karena suasana sendu, ya? Dikit-dikit mendung, dikit-dikit hujan. Di tempat kalian hujan juga ngga?

Anyway, semoga enjoy dengan part ini, ya! Oh, iya, kayaknya agak banyak narasi dibanding cakapan.

Silakan visualisasikan dengan sesuka hati. Aku pribadi, sih, dapet romantisnya, semoga kalian juga.

Selamat membaca!

-

Satu minggu kemudian,

18.30

Keadaan Nara sudah dipastikan membaik. Kemarin dia baru saja check up bersama Bian karena hari ini mereka akan datang di rangkaian acara pernikahan Anin. Bian pada akhirnya mengizinkan Nara untuk pergi, namun harus selalu dengannya, tidak boleh lepas pandangan, lepas genggaman barang sedetik pun. Posesif.

Pagi tadi Nara dan Bian sudah hadir di akad nikah Anin. Acara berjalan dengan hikmat dan penuh haru. Nara pun menangis bahagia. Tidak menyangka dia masih diberikan waktu terbaik oleh-Nya untuk menyaksikan bagaimana Anin melepas masa lajangnya. Bukan suatu hal yang mudah karena beberapa kali Anin berkenalan dengan laki-laki, namun tidak mendapat restu dari Mamanya padahal Anin sudah meyakinkan diri akan melanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Akhirnya, Anin harus memutuskan hubungan yang sudah dia jalin selama hampir tiga tahun dan harus berkelana mencari tambatan hati yang lain. Itulah laki-laki yang sah menjadi suami Anin terhitung mulai hari ini.

Nara pikir, laki-laki yang bersanding dengan sahabatnya pagi tadi, yang usai mengucapkan ijab qabul meneteskan air matanya kala melihat Anin masuk ke dalam ruang akad nikah adalah lelaki terbaik yang dikirimkan Tuhan untuk sahabatnya. Lelaki yang akan menjadi suami sekaligus pembimbing yang hebat.

-

Saat ini Nara tengah memoleskan sedikit make up ke wajahnya. Gaun yang dia pakai berwarna peach karena warna tersebut sudah ditentukan oleh Anin. Pun dengan Bian yang hanya mengenakan jas berwarna hitam. Sepertinya semua tamu undangan akan memakai warna senada hanya model baju yang berbeda.

Setelah selasai, Nara kembali berkaca mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Bagian perutnya sudah mulai timbul sedikit. Dia merasa badannya juga lebih berisi dibanding satu bulan lalu.

"Mas, aku keliatan gendut ngga, sih, pake baju ini?" tanya Nara sambil beberapa kali berputar. Melihat bagian kanan, kiri, atas, lengan, bagian manapun Nara lihat. Memang dasar perempuan.

Bian yang tengah memakai sepatu di pinggir tempat tidur pun mendongak. "Ngga, udah cantik. Gendut dari mana, sih? Perasaan kamu masih sama aja," kata Bian sambil memandang istrinya itu. Memang cantik, Bian tidak munafik.

Nara memutar bola matanya jengah. "Ah, kamu jangan-jangan ngga sadar istrinya punya perubahan. Beneran ngga keliatan gendut?" tanya Nara sekali lagi.

Bian menghela napas. Belum juga usai mengikat tali sepatu Nara sudah bertanya dua kali. "Ngga, Sayang," jawab Bian. "Kamu ngga boleh pake heels," lanjutnya saat Bian melihat Nara mulai berjalan menuju rak sepatu.

Nara memberhentikan langkahnya lalu berbalik badan. "Hah? Nanti tinggiku seberapa, Mas, kalo jalan sama kamu. Pendek banget, ih," jawab Nara.

"Nanti kamu gampang cape Nara. Inget, kamu jalan sekarang ngga sendiri, ada bayi di dalem perut kamu," jelas Bian. Dia pun berjalan menuju rak sepatu milik Nara dan memilih beberapa alas kaki yang harus istrinya kenakan itu.

Bian menemukan satu heels namun tidak terlalu tinggi, juga bagian itu tidak terlalu lancip, pikirnya akan aman dan tidak mudah lelah jika Nara memakainya. "Udah ini aja, matching, kok, sama bajunya," kata Bian sambil memberikan heels yang dia pegang itu.

Amerta - [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang