CHAPTER LIMA BELAS

1.2K 221 18
                                    

CHAPTER LIMA BELAS

WINTER CHILD

Suara tangis kedua bayi itu menggema. Dalam ruangan tertutup dan sempit, Ibu Suri memandang kedua bayinya yang mulai diperbolehkan untuk digendong. Sebenarnya, dia tak percaya dengan apa yang ditatapnya. Keduanya terlihat begitu mungil, dan tangis mereka makin menjadi. Tangan-tangan mungil itu mengepal kuat seakan tangis mereka takkan berhenti dalam waktu cepat.

"Berikan kepadaku."

Ibu Suri mendongak, terkejut. "Yang... Mulia. Kau.. di sini."

Satu bayi itu sudah beralih ke gendongannya. Raja memandang wajah tersebut. Bayi yang masih begitu rapuh, namun masih terus menangis, meraung. "Kita harus singkirkan dia."

Wajah wanita itu menegang. Dia menatap semua orang yang ada di ruangan itu. Namun perintah raja adalah hal final. Raja menimang bayi dalam gendongannya, seraya terus memandangi tanpa bosan. Raja tersenyum. "Aku akan bawa yang ini." Setelahnya, Ibu Suri berusaha bangkit, namun tubuhnya meronta lemah. Sementara bayi satunya sudah diambil alih. Disingkirkan. Begitu katanya.

*

*

Musim dingin adalah waktu bagi Beomgyu kecil untuk keluar bermain salju. Ada banyak orang di jalan, dan sesaat melihat Beomgyu kecil dengan wajah kumal dan pakaian tak layak, mereka akan menunduk, berkomentar pelan, dan melemparkan koin. Beomgyu suka koin! Katanya, itu bisa dipakai untuk membeli makanan.

Beomgyu meremas perutnya, keroncongan. Dia belum makan sejak kemarin pagi. Rasanya seluruh perutnya meronta-ronta dan ingin sekali merasakan roti hangat.

"Bocah! Pergi sana!"

Beomgyu melipat bibirnya, berjalan tersaruk-saruk. Dia agak mendongak. Salju selalu terasa seperti hiburan menyenangkan dari langit. Namun sesaat dia menoleh ke kanan dan kiri, di pedesaan itu tak banyak yang dapat dia perhatikan. Para ayah baru pulang berburu dan mencari kayu bakar yang diangkut di punggung. Atau para ibu yang lekas menyuruh anaknya mengenakan selimut dan pulang ke rumah. Beberapa rumah punya perapian, sebagian punya rumah yang sengaja dibangun berdempetan dengan rumah lain, serta menyalakan lentera hangat. Beomgyu tertegun, menyaksikan dua anak yang dipandu ibunya untuk pulang. Sang ayah menggendong anak satunya, sedangkan yang satunya digandeng oleh ibu mereka.

Beomgyu tak punya keluarga. Beomgyu juga tidak tahu bagaimana tampang ayah dan ibunya. Dia hanya tahu dia dilemparkan dari satu rumah ke rumah lain. Mendapatkan minum dan makanan tak menentu. Tak punya pakaian. Beberapa orang menganggap dia bisu karena tak pernah bicara.

Beomgyu juga tidak tahu enaknya roti—dia hanya membayangkan.

"Sana! Kau bau!"

Beomgyu bergidik sewaktu satu pria membawa kayu besar dan hendak memukulnya. Salju terus turun, membuatnya menggigil, dan Beomgyu memaksa untuk bergerak atau dia kembali jadi amukan orang-orang dewasa yang enggan untuk sekadar melihatnya. Menjijikkan. Itu kata mereka.

Beomgyu akhirnya meringkuk di depan satu toko kosong. Bibirnya kering, tangan kecilnya terlihat ringkih dan kurus. Beomgyu memegangi perutnya yang memelintir tidak nyaman.

"Ma.. kan. Aku lapar."

Air matanya terjatuh, namun Beomgyu merasa tak tahu harus kembali ke mana. Dia melihat tumpukan sampah, sejenak menimbang-nimbang. "Heh, bocah! Apa yang kau lakukan? Hush! Pergi sana! Membuat waswas saja!"

Beomgyu menunduk, kemudian berlari lagi. Kakinya nyaris tersandung, hampir membuat tubuhnya limbung ke tumpukan salju.

*

AKAI ITO | beomtae ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang