DATE
“Kita seperti pernah bertemu,” Beomgyu memberanikan diri menatap Taehyun. Hampir lima belas menit menunggu pesanan mereka, Beomgyu menahan suaranya. “Di suatu tempat, mungkin dalam mimpi? Ini aneh untukku.”
Taehyun meremas tangannya, kemudian menunduk. “Hm, ya.”
“Kau merasakannya juga?”
Jelas! Kau itu suamiku! Taehyun mau mengatakannya, memberitahu kepada Beomgyu bagaimana untuknya, perasaan ini juga familier. Bahwa dia terbangun kembali menjadi dirinya, namun itu tidak menghapus fakta bahwa dia pernah hidup bersama Beomgyu di novel itu! Sinting, sih. Bahkan Taehyun tidak percaya, namun cinta sendiri adalah kemustahilan di hidup Taehyun. Menjadi Pangeran Tyun terasa lebih nyata dibanding realita ini.
“Ak—”
Ucapannya terhenti karena pesanan mereka datang. Dua piring penuh pasta, jus jeruk segar dan semangkuk makaroni panggang yang mengepul harum. Ide kencan ini berawal dari Beomgyu yang tidak dapat mengalihkan perhatian setelah acara meet and greet Akai Ito di mal tersebut. Lewat asistennya, dia mencari tahu soal Taehyun bahkan berhasil menghubungi Taehyun. Beomgyu mulai meluangkan waktu dari segunung jadwal padatnya demi bertemu langsung, lebih dekat, menatap dengan penasaran dan terus bertanya-tanya bagaimana bisa mereka yang adalah orang asing, justru terasa begitu dekat. Seperti reuni. Bertemu kembali melepas rindu setelah ribuan malam terlewati. Beomgyu hampir meneteskan air mata tanpa sadar waktu melihat Taehyun menyapanya setibanya di restoran ini, kemudian duduk.
Beomgyu mengatur napas, kemudian mempersilakan Taehyun untuk makan. Mereka tidak banyak berbicara, dan Beomgyu melirik kecil Taehyun. Tyun. Dia persis Tyun dalam imajinasiku. Tapi kenapa rasanya justru sakit sekali?
Beomgyu terbatuk pelan, memancing Taehyun untuk segera meminta pelayan membawakan mereka sebotol air mineral. “Terima kasih,” gumamnya dan meneguknya perlahan,
“Pelan-pelan, Tuan.”
“Aku masih tidak paham,” katanya frustrasi. “Bagaimana bisa...”
“Anggap saja kita memang pernah bertemu,” jawab Taehyun seraya tersenyum. Ia mengangkat satu garpu, menyantap makaroni pesanan mereka berdua, dan menatap Beomgyu lagi.
Ini mustahil.
*
*
Beomgyu melepas kacamata bacanya, memijat pangkal hidungnya yang pegal. Dia berjalan terhuyung ke ranjang empuk, kemudian mulai berbaring nyaman. Tubuhnya sakit setelah dipaksa mengetik hampir separuh dari tugas hariannya. Editornya tidak akan mengomel jika Beomgyu tepat waktu, jadi yah syukurlah. Setelah keberhasilan Akai Ito, Beomgyu memang mempersiapkan naskah barunya, lanjutan dari Akai Ito.
Di akhir cerita dijelaskan soal kematian Raja Choi, pembaca nampak tidak terima dan menuntut kejelasan. Apalagi Pangeran Tyun (favorit mereka) juga turut meregang nyawa, jadi mereka ingin ada balasan setimpal untuk Raja Hajun yang baru. Mereka meminta agar ada karakter baru, dan bla bla bla. Mendengar reaksi pembaca soal novel itu menakjubkan, tapi mendengarkan bagaimana tuntutan-tuntutan seperti mematikan sejenak saraf kreatif Beomgyu untuk melanjutkan.
Beomgyu meringkuk, lemas. Setelah berhasil menggarap novelnya menjadi manuskrip utuh untuk diserahkan kembali ke editornya setelah dapat permak sana-sini, Beomgyu selalu begini; nyawanya bagai terhisap. Antara realita dan imajinasi terasa kabur. Beomgyu butuh setidaknya tiga hari untuk menenangkan diri, melepas jerat emosi dari cerita itu dan berpikir jernih lagi.
Tetapi, kemunculan Taehyun terus membuatnya berpikir soal Akai Ito, kerajaan, ibu suri, dan lainnya. Wajah tampannya mendongak, melihat lukisan bunga teratai pemberian bosnya, kemudian dia tersenyum getir. Bunga Teratai. Beomgyu merasa terhisap lagi ke cerita buatannya, dan seperti ada ngengat di dadanya; pilu.
Menulis tidak pernah terasa mudah, itu hubungan timbal balik yang magis. Beomgyu seharusnya mengendalikan diri dan lebih tenang. Faktanya, tidak semudah itu. Dia seperti terombang-ambing. Taehyun pasti merasa tidak nyaman juga dikaitkan terus masalah ini, padahal dia hanya satu dari banyak pembaca di luar sana. Taehyun mungkin merasa Beomgyu agak aneh karena seperti bicara melantur.
“Kacau,” ringisnya, kemudian mulai terduduk.
Beomgyu menyandar di kepala ranjang, memeriksa kotak masuk emailnya. Hanya beberapa jadwal ke depan, mengenai rapat dengan sejumlah anggota tim, serta bertemu editornya. Namun, pikirannya tetap tertuju pada Taehyun.
“Mungkin kita akan bertemu lagi.”
“Tuan Choi, buatlah dirimu nyaman. Aku tidak keberatan, menurutku bertemu denganmu sangat menyenangkan.”
“Oh ya? Bagaimana bisa?”
“Aku sangat suka tulisanmu, menurutku itu hidup. Aku dapat merasakan apa yang mereka rasakan, dan aku merasa utuh. Seperti mendapatkan dekapan hangat dari yang tersayang, seperti merasa mengenal diriku.”
“Hm, begitu.”
“Aku sungguh-sungguh. Aku senang bertemu denganmu.”
Apakah aku mulai menyukainya? batin Beomgyu mulai bertanya-tanya. Tidak mungkin! Beomgyu masih betah sendirian bertahun-tahun karena pekerjaannya menuntut banyak hal termasuk perhatian dan seluruh waktunya. Pernah ada yang dekat dengannya, tapi tidak bertahan lama setelah tahu betapa terobsesi dan berdedikasinya Beomgyu pada pekerjaannya sebagai penulis. Mereka tidak dapat menoleransi bagaimana Beomgyu lebih mengutamakan menulis daripada kencan.
Taehyun terlihat manis, dan berbinar. Dia memberikan nomor teleponnya, kemudian pamit. Dia berjanji akan gantian mentraktir Beomgyu di pertemuan berikutnya. Memikirkan itu sudah membuat Beomgyu berdebar.
“Dia tidak mengingatku.” Di kamarnya, Taehyun menghela napas perlahan. “Yah, itu wajar saja.” Dia menaruh lagi novel itu, kemudian memandangnya nanar. Hubungan mereka hanya ada di novel itu, dan sangat jelas Beomgyu tidak dapat mengingat atau bahkan merasakannya. Ini seperti hidup lagi setelah menderita berdarah-darah di kehidupan sebelumnya. “Tapi jika ada kesempatan dia dapat mengingatnya, aku mau dia ingat.”
Taehyun mulai merapikan selimutnya, kemudian memandang ke dindingnya. Dua kehidupan ini menjadi satu bagian dalam diri Taehyun. Dia berusaha menarik dirinya agar menjalani kehidupan selayaknya dahulu, namun sulit. Sesekali dia bahkan kaget sewaktu menyadari dia bukan di istana, atau ketika dia tersadar tidak mengenakan pakaian kebesarannya selayaknya waktu dia menjadi pangeran. Atau Ling. Taehyun merindukan sosok itu seperti merindukan kakaknya sendiri, seharusnya dia ada di dekat makam Ling sembari menggerutu bagaimana hidup ini sangat aneh.
Taehyun tidak dapat menuntut banyak sekarang.
Setidaknya di kehidupan ini, Beomgyu sehat dan hidup dengan baik. Dia mendapatkan banyak cinta dan dikagumi banyak orang. Yah, Taehyun harusnya senang, kan? Tidak perlu menuntut mereka punya hubungan spesial atau nostalgia sewaktu mereka menjadi pasangan bahagia di istana?
Ah, entahlah.
Kantuk menumpuk di mata Taehyun. Ia mengerang samar, kemudian meringkuk hangat. Ibunya menyiapkan makan malam enak, dan Taehyun hampir lupa bagaimana ibunya pandai memasak. Rumah ini, harumnya, lantainya, suara dindingnya, gemerisik dari luar, bahkan tiap sudut tangganya, Taehyun diam-diam merindukannya juga. Pulang. Aku sudah pulang. Taehyun tetap merasa hati kecilnya menjerit ingin terlelap di istana lagi, atau mendengar suara dari air terjun, bahkan memandang danau yang ada di dekat paviliun.
“Yang Mulia, aku rindu kita yang utuh.”
Taehyun mengingat hari pernikahan mereka, rasa degdegan di dadanya, bahkan ketika Beomgyu menyikap penutup wajahnya lantas tersenyum seolah dia baru melihat surga. Aku rindu dirimu yang sepenuhnya untukku. Taehyun ingat pelukan yang memenjarakan tubuhnya, atau bagaimana Beomgyu berbisik rendah dan tertawa hangat di telinganya. Sapuan tangannya yang lembut di tengkuk Taehyun serta bisikan cinta penuh godaan. Tidur denganku. Kau cantik. Taehyun akan merona sampai lututnya lemas.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
AKAI ITO | beomtae ✔
FanfictionTaehyun terhisap ke dalam novel yang dibacanya. Tidak sampai situ, Taehyun ternyata akan dibunuh oleh suami mendiang kakaknya, Raja Choi, sosok yang diam-diam merencanakan balas dendam terhadap keluarga Taehyun di novel tersebut. Taehyun terjebak d...