CHAPTER TUJUH BELAS
DESAS-DESUS
Beomgyu duduk bersimpuh di dalam bangunan kuil. Sakit? Tidak terlalu. Sesak? Mungkin. Hancur? Entahlah. Yang Beomgyu tahu dan sadari ialah dia takkan melihat paras Ibu Suri lagi berkeliaran di istana. Beomgyu sadar, percakapan terakhir mereka bukanlah bahasan mengenakkan. Beomgyu cenderung keras pada ibunya tersebut.
Beomgyu menunduk dalam. Ling lalu ibu. Siapa selanjutnya? Air matanya tak bisa keluar. Itu yang justru membuatnya tertohoh—apakah dia tak bisa menangis lagi? Beomgyu terduduk lemas, kemudian menghirup udara dalam. Di kuil ini, Beomgyu pertama kali diangkat menjadi bagian keluarga istana. Di kuil ini, banyak yang mendoakan agar dia dapat memimpin negeri mereka. Tak pernah terpikirkan, di sini pula Beomgyu merasa begitu kesepian.
Mengapa hidup tak pernah adil?
Sejak pemakaman itu, Beomgyu belum mencicipi sedikit makanan pun. Banyak orang sudah memintanya bahkan untuk memakan roti walau sedikit, tapi Beomgyu tak berpikir apa pun. Makan? Tak terlintas di kepalanya. Yang sekarang menyesaki ruang di kepala hanya bayangan ulang pemakaman Ibu Suri, api yang berkobar tinggi, mereka yang mengenakan pakaian serbaputih dan berkabung.
"Yang Mulia."
Beomgyu memberikan isyarat tangan tanpa menoleh. Akhirnya, pelayan itu kembali berbalik, meninggalkan Beomgyu.
"Ling, aku tak tahu apa yang akan terjadi." Suara Beomgyu terdengar lemah, putus asa. "Aku tak ingin berada di posisi ini." Wajahnya Beomgyu mendongak tinggi, memperhatikan langit-langit kuil.
*
*
Tiap orang punya caranya sendiri untuk berdamai dengan kehilangan. Taehyun tak tahu apa yang harus dia lakukan. Istana ini timpang dan hancur dari dalam—Beomgyu belum kembali. Kosongnya singgasana berpengaruh pada emosi tiap orang, seolah yah, mereka adalah penumpang kapal yang hilang arah tanpa nahkoda. Mereka cemas, apakah Beomgyu kembali atau butuh lebih banyak waktu. Jelas, dukungan raja, simpatinya, dan sosoknya yang mereka butuhkan di situasi ini. Terlebih sepeninggal Ibu Suri, semua orang dilanda kesedihan tak berkesudahan.
"Yang Mulia, sudah jam tujuh. Anda harus kembali ke kamar dan istirahat," ujar kepala dayang, yang terlihat membungkuk di depan Taehyun.
"Mengapa? Aku biasanya tidur jam sembilan."
"Yang Mulia, ini perintah langsung dari Yang Mulia Raja. Anda harus tidur pukul tujuh. Keadaan sedang tidak baik-baik saja."
Jelas sekali, walaupun entah di ujung mana, Beomgyu tak pernah melepaskannya. Taehyun mengangguk, agak masam, kemudian mengekori dayang-dayang lain. Serius, jika Beomgyu mau mengasingkan diri, sebaiknya pria itu tak perlu repot memikirkan Taehyun yang ditinggal di sini. Bukan berarti Taehyun kesal karena ditinggal pergi tanpa ucapan apa-apa begitu, hanya saja, yah, Taehyun jengkel.
Beomgyu seharusnya tak penting, kan? Ucapan dayang tempo hari kembali merasuk; katanya, sejak kedatangan Pangeran Tyun, suasana hati Raja Choi lebih baik. Apakah Tyun itu memang digambarkan sebagai karakter yang hangat dan lemah lembut di sini?
Tapi Taehyun tidak mau! Sudah cukup banyak penindasan yang terjadi, dan dia masih trauma akan perlakuan buruk Beomgyu padanya. Mengingat itu hanya mengobarkan api amarah dalam diri Taehyun. Aku tak bisa jadi Tyun! Masa bodoh!
"Sss, dengar-dengar ada yang percaya melihat arwah Ibu Suri semalam."
"Yah, makannya kita harus cepat-cepat ke kamar dan mengunci pintu."
KAMU SEDANG MEMBACA
AKAI ITO | beomtae ✔
FanfictionTaehyun terhisap ke dalam novel yang dibacanya. Tidak sampai situ, Taehyun ternyata akan dibunuh oleh suami mendiang kakaknya, Raja Choi, sosok yang diam-diam merencanakan balas dendam terhadap keluarga Taehyun di novel tersebut. Taehyun terjebak d...