"Kayaknya gue mesti nikah deh, Bim."
Clara mengucapkan itu dengan santai, namun membuat si lawan bicaranya seketika menoleh padanya dengan gaya slow motion, disertai mata membelalak, diikuti tangan lentik menutup mulutnya.
"Sumpeh? Lo bilang apa barusan?" Laki-laki kemayu yang Clara panggil Bim--bernama panjang dan asli Bambang, tapi lebih suka dipanggil Bimbi--tadi bertanya, ingin Clara mengulang kalimatnya tadi yang sesungguhnya anti bagi perempuan itu.
"Gue pengen nikah."
Tak henti-hentinya Bimbi menampakkan ekspresi terkejutnya. Bola mata pria itu bergerak memindai seisi ruangan pribadi Clara, mengira-ngira apakah ada kamera atau tidak. Siapa tahu mau bikin prank untuk dijadikan konten.
"Lo nggak lagi salah makan obat kan?" Bimbi menyentuh dahi Clara dengan punggung tangannya, namun suhunya terasa normal.
Clara berdecak melihat kelakuan Bimbi--asisten pribadinya yang sudah bekerja dengannya selama enam tahun--lantas menghempaskan tangan pria itu.
"Lo kira gue sakit? Beneran nih gue."
"Yah, abisnya lo kayak nggak biasanya deh, Cyiin." Nada suara Bimbi memang gemulai layaknya pria kemayu kebanyakan.
"Gue serius. Gue pengen nikah."
"Ya udah, lo nikah sana."
"Cariin." Clara mengerucutkan bibirnya gemas ketika mengatakan itu.
"Lah, kok jadi gue. Cari sendiri lah ah,"
"Lo asisten gue, lakuin perintah gue."
"Cari suami buat lo itu di luar kerja gue, Cyiiin."
"Lah, anggap aja lo sebagai teman gue, yang lagi ngebantu temannya lagi kesusahan."
Bimbi memutar bola matanya malas. Giliran minta bantuan begini sok sokan ngaku sebagai teman.
"Lagian kenapa sih tiba-tiba pengen nikah?" tanya Bambang dengan dahi mengerut. "Apa karena nggak mau kalah dari Adam? Makanya jadi ikut-ikutan?"
Clara terdiam sejenak. Jujur ia pun masih sedikit patah hati karena Adam sudah bersama dengan wanita lain. Persahabatan mereka yang sudah lama terjalin puluhan tahun sekarang sudah berakhir. Well, mungkin memang masih bisa berteman sekarang, hanya saja sekarang sudah beda frekuensi.
"Woy! Malah diem. Berarti bener kan, lo terpaksa pengen nikah cuma gara-gara nggak mau kalah sama Adam. Udah deh, nggak usah paksain kalau lo emang belum siap komitmen."
Clara menghela napas. Ia sudah yakin dengan pilihannya sendiri, tentunya karena ada beberapa alasan.
"Gue yakin!" Clara berkata tegas dan wajahnya nampak yakin sekali. "Gue beneran mau nikah. Ini bukan soal Adam, tapi ini soal diri gue sendiri. Jadi gue mau lo bantuin gue cariin suami."
Bimbi pun mengedikkan bahunya dan manggut-manggut. "Oke, kalau lo emang maunya gitu. Gue bakalan bantu." Bimbi mengambil handphone-nya, untuk mencari-cari sesuatu di sana. "Pertama-tama kita butuh aplikasi dating."
"Lah, kok pake aplikasi sih, Bim? Nggak suka ah kalo aplikasi, fake semua tuh."
"Duuh, Cyiin. Lo mah menganggap negatif semuanya. Ini aplikasi terpercaya, Cyin. Bintang empat koma tujuh. Dan kalo lo nggak lupa, gue pernah dapat gebetan dari sini juga dan orangnya asli."
"Yah ujung-ujungnya lo sama gebetan lo itu putus juga kan?"
"Putusnya baik-baik ya, Cyin. Jangan sepele ente." Bimbi mengibaskan rambut pendeknya yang seolah-olah panjang. "Lo tenang aja, lo bakalan dapat calon suami yang paling ganteng, kaya dan hot di aplikasi ini." Bimbi menggebu-gebu layaknya lagi jualan.
"Ah, nggak mau ah. Gue nih model papan atas, Bim. Gila lu kalau daftarin gue ke aplikasi dating murahan begitu. Mau ditaruh mana harga diri gue, Bim." Clara bersikeras menolak.
Bimbi akhirnya menutup aplikasi yang baru saja dibuka itu karena Clara menghargai penolakan Clara. Kalau tidak mau, ya sudah.
"Terus, yey sekarang maunya gimana? Minta bantuan, pas mau gue bantuin malah nolak."
"Tapi jangan cara itu, Bimbiiii. Kenalin kek temen lo atau kenalan lo yang cakep gitu. Lo kan ahlinya liat-liat cogan."
Fyi, Bimbi memang lebih menyukai cowok-cowok ganteng berbadan kekar.
"Kenalan gue gay semua sih."
Clara memutar bola matanya karena Bimbi beralasan. Bilang aja takut ditikung!
"Atau ...." Clara menggantung kalimatnya seraya menatap Bimbi dengan pandangan menggoda, membuat pria kemayu itu seketika waspada. "Atau gue nikah sama lo aja, gimana?"
Bimbi menatap Clara ngeri, ditambah lagi perempuan itu kini naik ke atas pangkuannya, berusaha menggoda pria itu.
"Nggak! Gue masih suka lekong, Cyiiin. Gak mau gue nikah sama lo!"
"Ayolah..."
"Nggak, Ra. Jijik tau nggak!
"Lo yakin nggak mau, Bim? Lo yakin nolak cewek seksi kek gue?" Clara menahan tawa ketika dilihatnya wajah Bimbi mulai memerah dan berusaha menjauhkan wajah Clara darinya.
"Jangan macem-macem deh, Cyiin. Gue nih masih pengen dinikahin Shawn Mendes."
Clara bangkit dari pangkuan Bimbi, kemudian ketawa keras melihat wajah paniknya Bimbi. Sebegitu tidak inginnya pria itu lengket-lengket dengan perempuan.
Bimbi mengakui dirinya gay dan itu yang membuat Clara merasa aman dengan pria itu. Mau Clara bugil sekalian pun di depan Bimbi, pria kemayu itu malah bodo amat. Padahal kalau dilihat dari penampilan Bimbi, pria itu sangat pantas untuk dipamerkan di khalayak ramai. Lumayan tampan dan berkulit eksotis. Clara yang 170 cm hanya berbeda 10 cm dengan Bimbi, yang mana kalau mereka jalan berdampingan dan Clara memakai high heels, akan membuat tinggi mereka sama, dan Clara rasa mereka sangat cocok untuk itu.
Bimbi pun sama dengan Clara, tak suka berkomitmen. Mungkin gara-gara itu pula mereka bisa sefrekuensi.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Shoulder to Lean On (END)
ChickLitClara Attesia, seorang artis sensasional yang sulit berkomitmen dalam percintaan. Ia hanya takut orang yang hidup bersamanya kelak akan kecewa dan penuh penyesalan. Galen Thrisaan, teman sekelas Clara sewaktu SMA sekaligus si ketua OSIS yang duluny...