Clara memandangi langit-langit kamar selama beberapa saat. Tengah mencerna keberadaannya sekarang. Matanya perlahan menjelajahi seisi kamar lamat-lamat. Sangat berbeda dengan kamarnya yang penuh warna, sementara kamar ini lebih didominasi warna hitam. Wangi kamar ini pun tidak seperti miliknya, namun tidak asing di penciumannya.
Dahinya mengeryit, mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi tadi malam. Meski ingatannya abu-abu, setidaknya ia masih ingat bahwa semalam ia sibuk bicara tak jelas dengan Galen. Well, akhirnya ia tahu di mana ia berada sekarang. Pakaiannya pun sudah berganti dengan kemeja putih dan celana pendek.
Diliriknya jam dinding dan spontan ia membelalakkan matanya, ternyata sudah hampir jam dua belas. Eh, siang atau malam? Segera saja berjalan menuju gorden panjang yang mungkin saja pintu balkon, ternyata di luar sana, matahari sedang terik-teriknya.
Ia benar-benar tidur selama itu?
Bertambah sudah bahan nyinyiran Galen nanti kepadanya. Sudah tidurnya di rumah orang lain, lama pula numpangnya.
Clara menyisir asal rambutnya dengan tangan dan segera berjalan menuju pintu. Ia membuka sedikit dan mengintip ke luar kamar. Tak ada keberadaan Galen dalam jangkauan matanya, namun suara vacum cleaner tertangkap indera pendengarnya. Itu berarti ia tak ditinggal sendirian di sini. Yah, mengingat harusnya sekarang Galen masih kerja.
Perlahan Clara keluar dari kamar dan menengok-nengok sekitar unit. Dekorasinya simpel, tidak banyak hiasan dinding seperti punya Clara. Dan dekorasinya sangat rapi, berbeda dengan milik Clara yang asal letak.
Kening wanita itu mengerut ketika yang didapati bukanlah Galen, sang pemilik unit, melainkan seorang perempuan muda yang tengah sibuk membersihkan lantai dengan vacum cleaner. Badan perempuan itu tampak mungil dan terlihat polos.
Siapa orang ini?
Ketika perempuan asing itu berbalik, ia terkejut melihat Clara sudah berdiri di depannya. Namun kemudian ia tersenyum, menampilkan gigi gingsulnya yang membuat ia tampak sangat manis.
"Eh, mbak Clara sudah bangun toh?" Sapaan pertama dari perempuan tak dikenal itu.
Clara hanya mengangguk canggung.
Ke mana Galen? Dan siapa perempuan ini? Adik? Tapi kok nggak mirip? Setahu Clara, Galen itu anak tunggal. Apa istri? Terlalu muda nggak sih tampangnya? Apalagi Galen pernah bilang, kalau dia masih lajang.
"Mbak Clara …"
Mendengar namanya dipanggil, Clara terkesiap dan menyahut.
"Mbak Clara jangan melamun, nanti kerasukan," kata perempuan asing itu dengan suara medhok. "Saya Susanti, Mbak. Pe er te di rumah maminya Mas Galen. Saya disuruh Mas Galen untuk jagain Mbak Clara. Soalnya Mas Galen lagi kerja, ntar siangan dia balik. Eh, kayaknya bentar lagi. Udah mau jam dua belas ini. Hehe."
Omongan panjang lebar Susanti hanya dibalas dengan senyuman tipis dari Clara. Oh, ternyata cuma PRT, kirain siapa.
"Padahal nggak usah juga dijagain, saya bukan mau maling kok di sini."
"Waduh, bukan begitu maksudnya, Mbak. Soalnya kan Mbak Clara katanya abis teler tadi malam, makanya saya mau mastiin kalau Mbak Clara baik-baik aja," kata Susanti, membantah prasangka Clara. "Lagian mana mungkin orang sekelas Mbak Clara jadi maling. Ternyata mbak Clara lebih cantik aslinya ketimbang foto-foto di instagramnya Mbak, ya. Mbak boleh minta foto bareng nggak?" Susanti bicara seolah tanpa jeda, membuat Clara jadi pusing.
Serius nih orang minta foto pas dia lagi berantakan begini? Mau meledek apa gimana?
Belum juga Clara merespon, tiba-tiba suara pintu terbuka. Sehingga membuat keduanya menoleh ke arah yang sama. Tampaklah Galen dengan pakaian rapi seperti biasanya. Ia melepaskan tas punggungnya ke sofa. Clara masih sempat-sempatnya terkagum dengan penampilan Galen yang selalu menawan. Ia nyaris lupa dengan kondisinya yang berantakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shoulder to Lean On (END)
ChickLitClara Attesia, seorang artis sensasional yang sulit berkomitmen dalam percintaan. Ia hanya takut orang yang hidup bersamanya kelak akan kecewa dan penuh penyesalan. Galen Thrisaan, teman sekelas Clara sewaktu SMA sekaligus si ketua OSIS yang duluny...