"Makanya usaha dong. Kalau aja lo nggak nolak dia dulu, mungkin lo nggak bakalan kesusahan gini buat ngejar dia."
Mengingat ucapan Bimbi ketika Clara menceritakan tentang hubungan tak jelas antara ia dan Galen. Clara menguatkan tekadnya, tak peduli lagi dengan apapun yang
membuatnya sempat bimbang dulu.Sejak malam itu, tepatnya dua hari yang lalu, Clara belum bertemu lagi dengan Galen. Pria itu seakan menghilang begitu saja setelah mendapatkan pengakuan cinta yang sudah terang-terangan Clara ungkapkan.
Hari ini tanpa sepengetahuan Galen, Clara mendatangi kantornya. Karena kalau Clara mengabarkan dulu mau bertemu pria itu, bisa jadi Galen malah menghilang lagi.
"Selamat siang, Sita." Clara menyapa sekretaris Galen yang nampaknya terlalu fokus memantau layar komputernya.
"Selamat siang. Eh, Mbak Clara rupanya." Sita sedikit terkejut, namun akhirnya menampilkan senyumnya. "Mbak Clara sudah lama nggak datang ke mari. Apa kabar, Mbak?"
"Baik, baik." Clara mengangguk-angguk. Ia lantas menyodorkan sebuah paper bag ke meja Sita. "Untuk kamu, Sit."
"Wah, makasih, Mbak Clara. Ya ampun, padahal nggak perlu repot-repot loh, Mbak, bawain makanan segala ke saya."
Clara hanya tersenyum menanggapi ucapan basa-basi Sita. "Oh ya, Galen ada di dalam?"
"Lagi makan siang di luar sama klien, Mbak."
Clara manggut-manggut pelan, seraya membuang napas berat. Padahal ia juga membawa makan siang untuk pria. Clara bahkan bela-belain memasaknya sendiri, walau rasanya tak seenak buatan Galen. Ternyata malah sudah lebih dulu sama klien yang lain.
"Sebentar ya, Mbak. Saya info dulu ke Pak Galen."
Clara mengangguk ketika Sita mencoba menghubungi Galen. Namun kerutan di kening sekretaris itu menandakan tak mendapat jawaban dari seberang. Sita lantas membuka sedikit pintu ruangan Galen untuk mengintip, kemudian mendesah singkat.
"Ponselnya Pak Galen malah ditinggal di ruangan," keluh Sita, saat melihat ponsel milik bosnya terletak di meja. "Mbak Clara nggak papa nunggu dulu? Mungkin sebentar lagi Pak Galen datang kok."
Clara menganggukkan kepalanya, tak keberatan. "Ya udah, saya nunggu di dalam aja, ya?"
"Silahkan, Mbak."
Isi ruangan Galen mirip seperti perpustakaan mini. Banyak buku terbal dan beberapa berkas. Biasanya, orang-orang suka menaruh foto di dalam ruangan, namun Galen berbeda. Tak ada foto-foto spesial yang terpajang di sana.
Clara mengambil salah satu buku fiksi jadul karya Ranpo Edogawa. Clara hanya membaca halaman pertama saja sudah langsung bosan, apalagi karena ini adalah buku genre misteri. Maklum saja, Clara tak begitu suka membaca buku fiksi. Paling-paling sesekali membaca yang bergenre romansa.
Ia hendak mengembalikan benda persegi yang cukup tebal itu kembali ke rak, namun tak sengaja ia menjatuhkan buku tersebut tepat di atas keyboard macbook Galen yang sedang dalam mode sleep. Clara meringis lantaran tak sengaja membangunkan layarnya yang tadi menghitam. Namun seketika keningnya mengernyit heran kala melihat tampilan layar macbook milik Galen.
Rekaman beberapa ruangan terbagi menjadi empat bagian. Rekaman video itu tampak sunyi, seakan tak ada pergerakan di dalamnya. Well, ini sudah pasti rekaman CCTV. Semakin Clara memperhatikan, gambaran-gambaran ruang yang ada dalam rekaman mirip dengan unitnya. Bukan mirip lagi, tapi sepertinya memang benar-benar unitnya.
Untuk apa Galen mengambil rekaman cctv milik Clara dan dapat akses dari mana? Sialan! Bisa-bisanya Clara kecolongan seperti ini. Itu berarti selama ini pergerakannya selama di dalam unit, sudah diawasi oleh Galen. Tapi untuk apa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Shoulder to Lean On (END)
ChickLitClara Attesia, seorang artis sensasional yang sulit berkomitmen dalam percintaan. Ia hanya takut orang yang hidup bersamanya kelak akan kecewa dan penuh penyesalan. Galen Thrisaan, teman sekelas Clara sewaktu SMA sekaligus si ketua OSIS yang duluny...