"Nggak, nggak. Saya bisa jalan sendiri."
Galen menawarkan untuk membantu Clara berjalan, karena prihatin melihat cara jalan wanita itu yang pincang. Serta high heelsnya yang patah sebelah ditenteng begitu saja.
"Tapi kamu kelihatan sulit untuk jalan."
"Ini cuma terkilir doang, nggak papa." Clara memaksakan senyumnya. Ia lantas memasuki lift.
Galen ikut masuk ke dalam, seketika membuat Clara terheran-heran. Buat apa pria itu masuk?
Clara menarik napas dan menghembuskan dengan perlahan, lantas mencoba tersenyum tenang.
"Mohon maaf nih, Pak Galen, anda tidak perlu mengawasi saya sampai sebegininya. Kaki saya baik-baik saja. Jadi lebih baik Pak Galen pulang saja, saya bisa pulang sendiri."
"Saya juga tinggal di sini."
Clara loading sebentar, kemudian tersadar akan kebodohannya. Lantas ia terbatuk-batuk kecil, mengatasi kecanggungannya.
"Kok saya baru tahu?"
"Sudah dua bulan. Kamu saja yang jarang kelihatan."
Clara memang sering tidak di apartemen, karena ia selalu berpergian karena tuntutan pekerjaan. Selama ia tidak kenal siapa tetangga sebelah apartemennya. Karena ia juga artis, dan butuh privasi. Jadi tidak ingin berbaur dengan tetangga.
"Ohhh." Clara ber-oh seraya menggaruk jidatnya. "Pak Galen di lantai sebelas?" Belum habis kekagetan Clara karena mereka tinggal di gedung yang sama, sekarang muncul fakta bahwa mereka menekan lantai yang sama.
Galen mengangguk datar, pandangannya terus tertuju ke depan.
"Kebetulan apa pula ini, kita tetanggaan?" Clada bertanya-tanya heran. Ada gerangan apa sehingga mereka tinggal di lantai yang sama? Hanya kebetulan atau sengaja?
"Selama tiga bulan tinggal di sini, saya baru tahu kamu punya unit di sini." kata Galen, mencoba mematahkan praduga Clara.
"Yah siapa tahu kan, Pak Galen ngefans sama saya, terus menguntit saya."
Galen seketika menoleh pada Clara yang mendadak kicep. "Saya memiliki banyak hal yang lebih berguna daripada menguntit." kata Galen santai. "Dan berhenti manggil saya dengan sebutan Pak, kita seumuran, ingat?"
"Oh, maaf. Saya terbiasa manggil sebutan formal untuk rekan kerja saya."
Wajah Galen semakin masam ketika Clara berkata demikian.
"Kakak kamu itu sering memperlakukan kamu seperti tadi?"
Topik pembicaraan yang diubah Galen lantas membuat Clara menipiskan senyumnya.
"Hanya kadang-kadang." Ia tak ingin terlihat lemah di hadapan Galen. Bisa-bisa nanti diledek. "Biasa itu antar saudara."
"Hampir membunuh gitu, kamu bilang biasa?"
Tiba-tiba pintu lift terbuka. Clara lebih dulu keluar tanpa mempedulikan omongan Galen. Yah, seperti biasa pria itu akan memandangnya remeh.
"Kamu itu klien saya, Clara. Dan saya jadi saksi tadi. Saya hanya ingin minta pendapat kamu, apakah kejadian tadi perlu dimasukkan dalam nota saya untuk pengadilan nanti?
Clara tak menjawab, ia terus berjalan menuju unitnya.
"Sebagai fakta tambahan untuk memperberat hukuman kakak kamu, itu pun kalau kamu mau."
Benar juga. Ditambah lagi teror yang baru-baru ini ia alami, bisa saja memang Burhan pelakunya. Kalau sudah begini, kasus bukan hanya sekedar soal perebutan tanah, tapi juga kekerasan dan terorisme.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shoulder to Lean On (END)
ChickLitClara Attesia, seorang artis sensasional yang sulit berkomitmen dalam percintaan. Ia hanya takut orang yang hidup bersamanya kelak akan kecewa dan penuh penyesalan. Galen Thrisaan, teman sekelas Clara sewaktu SMA sekaligus si ketua OSIS yang duluny...