Bab 17

35.9K 2.6K 48
                                    

Sidang pengadilan atas kasus hak milik tanah, akhirnya berjalan dengan lancar. Meski sesungguhnya, ada perasaan tak tega ketika melihat mamanya yang juga hadir, tengah menatap Clara dengan penuh kebencian. Bahkan usai sidang, mamanya meneriaki Clara, memakinya dengan bahasa kotor karena masih tak terima Clara menjebloskan kakaknya sendiri ke penjara.

Clara segera keluar ruang sidang, mengabaikan makian mamanya. Pun tak memberi respon kepada para wartawan yang terus saja memberondongnya dengan berbagai macam pertanyaan.

"Clara jalang!"

Teriakan disusul dengan jambakan di rambut Clara nyaris membuat wanita itu terjungkal ke belakang. Ia terkejut sekaligus panik. Bukan hanya ia, namun orang-orang di sana juga kaget karena tiba-tiba mama Clara sudah menarik rambutnya.

"Kamu bener-bener biadab, Clara. Tega kamu bikin kakak kamu mendekam di penjara. Terkutuk kamu, Clara. Jalang! Anak durhaka!"

Dibantu oleh beberapa orang yang mencoba melerai keributan, akhirnya Clara berhasil melepaskan jambakan mamanya. Rasanya sakit sekali. Bahkan ia rasa banyak yang tercabut.

Clara kembali memasang ekspresi dingin, seakan tak peduli dengan makian mamanya. Ia membenarkan kacamata hitamnya, dan melanjutkan langkahnya untuk meninggalkan tempat itu.

"Clara! Mau ke mana lo? Jangan kabur lo! Pengecut!"

Masih terdengar teriakan mamanya yang terus memaki Clara, namun tak digubris.

Hingga akhirnya Clara berhasil masuk ke dalam mobil. Ia menghembuskan napas lega. Sisi pintu yang lain terbuka, tampaklah Galen yang baru saja masuk. Wanita itu segera membuang pandangan ke luar. Jujur, ia malu keributan tadi malah disaksikan oleh Galen.

Selama perjalanan, suasana dalam mobil sunyi senyap. Clara menopang dagunya dengan pandangan ke luar. Namun pikirannya berkecamuk saat ini. Ia bingung dengan posisinya yang serba salah. Ia sangat menyayangkan Burhan yang dengan tega menjual tanah dua miliarnya, yang duitnya hasil kerja keras Clara bertahun-tahun. Namun di sisi lain, ada perasaan tak tega hanya karena mereka saudara. Tapi mau bagaimana lagi, hasil vonis sudah diketuk palu. Clara tak mungkin menarik kembali gugatannya sekarang.

Tiba-tiba Clara menangis, ia tak sanggup lagi membendung air matanya yang sejak tadi ia tahan. Ia benar-benar ingin melampiaskan segala perasaannya saat ini juga. Tak peduli jika Galen yang duduk di sampingnya menganggap ia seperti orang bodoh.

Clara terkesiap ketika merasakan kepalanya disentuh. Ia menoleh ke samping, ia beruntung masih mengenakan kacamata jadi matanya yang menyedihkan tak nampak begitu jelas.

"It's okay. Nggak papa, nangis aja." Galen menarik kepala Clara ke dalam dadanya.

Tangisan Clara semakin menjadi. Ia tak peduli jika air matanya akan membanjiri jas mahal pengacaranya itu.

***
"Cheeers!"

Bunyi dua gelas bertabrakan menimbulkan suara dentingan. Clara memasang wajah kecut sehabis meneguk birnya, namun perasaan enak dan lega ketika menelan cairan itu. Sementara di sampingnya, Galen tetap tak berekpresi.

Mereka kini berada di unit Clara. Karena sehabis makan malam dengan beberapa orang manajemen Clara, mereka langsung pulang.

"Thanks ya, untuk persidangan tadi. Kamu udah bekerja keras banget."

Galen mengangguk. "Sudah semestinya."

"Tapi kamu keren banget sih tadi. Sebenernya kamu tuh kalau soal kecerdasan nggak perlu diragukan lah."

"Terus, siapa yang dari awal pengen ganti pengacara?"

Clara tertawa mendengar ucapan Galen yang mengungkit saat di mana ia protes karena Galen menjadi pengganti Madam Inggit, pengacara terdahulunya.

Shoulder to Lean On (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang