Chapter 36

12.8K 1K 29
                                    

Komunikasi antara Meisya dan Rangga semakin hari semakin memburuk karena kejadian salah paham malam itu. Keduanya tak ada yang mau mengalah. Rangga dengan segala kesibukannya di luar kantor membuatnya jarang bersinggungan langsung dengan Meisya. Mereka tetap profesional, meski ada masalah pribadi. Keduanya sudah dewasa, bisa membedakan mana kepentingan sendiri dan mana kepentingan bersama.

Meisya memang menghindari Rangga untuk bicara pribadi, tapi jika dipanggil masalah pekerjaan, Meisya akan tetap menghadap Rangga tanpa merasa canggung sama sekali. Meisya memang orang yang mudah menyesuaikan keadaan.

"Mes, lo sama Papih ada masalah ya?" tanya Arinda yang membuat Meisya menoleh ke arah kubikel Arinda.

Meisya mengedikkan bahunya. "Biasa aja sih, Rin, dalam hubungan nggak ada yang mulus tanpa masalah."

"Cepet selesaiin! Jangan diperpanjang. Komunikasi itu penting, Mes," ujar Arinda memberi nasihat. "Oh iya, lo udah tahu, 'kan? Papih Rangrang lagi sibuk karena kontraknya udah mau habis dan nggak ada rencana perpajang? Dia katanya mau pindah."

Meisya mengerjapkan matanya. Dia ratu gosip paling update dan parahnya lagi, dia adalah kekasih Rangga, tapi dia tak tahu sama sekali informasi tersebut. Sepertinya berantem membuat hubungan keduanya menjadi benar-benar tertutup.

"Kapan kontraknya habis, Rin?" Meisya bertanya karena marasa sangat penasaran dengan fakta tersebut.

"Lo 'kan pacarnya. Tanya langsung aja! Kok malah tanya gue. Lebih valid kalau langsung ke Pak Rangga, 'kan?" Arinda tak mau menjawab, karena Rangga jauh lebih berhak dan informasinya lebih benar.

Meisya menghela napasnya. Ia mengambil ponselnya. Tangannya bergerak di atas layar. Wajahnya tampak bimbang dengan apa yang akan ia lakukan. Apakah sebaiknya dia mengalah, meski dia tak salah sama sekali? Sebenarnya Meisya gengsi harus menghubungi lelaki itu terlebih dahulu.

Meisya kembali menutup ponselnya, lalu ia mengembuskan napasnya. Arinda melirik Meisya yang dibatasi sekat kubikel rendah itu.

"Nggak usah gengsi. Kalau penasaran mending tanya, sekalian selesaiin masalah kalian! Kalau main kucing-kucingan terus, sampai lebaran monyet juga nggak akan selesai itu masalah." Arinda menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. "Masalah ada buat dihadapi. Masalah dalam hubungan memang wajar, malah bisa jadi pembelajaran dan bahan buat evaluasi, tapi nggak baik kalau didiemin terus."

Meisya hanya diam, tapi ia mendengar dengan baik perkataan Arinda. Menurut Meisya, Arinda satu-satunya karywan paling normal di tim mereka. Lagipula, Arinda juga bukan orang sembarangan, bukan karyawan biasa. Mungkin, wanita itu harus jaga sikap, meski kadang ia kelepasan dan menjadi segila Meisya.

Meisya meraih ponselnya. Kebetulan pula sudah mendekati jam makan siang, sepertinya menelepon Rangga tak ada salahnya. Dia akan menurunkan egonya.

Meisya menekan tombol dan menelepon Rangga. Ia tempelkan ponselnya di telinga. Sampai deringan berakhir, Rangga tak menjawab. Meisya tak menyerah, ia tetap berusaha menghubungi Rangga, tapi nihil. Tak ada jawaban. Akhirnya, Meisya memilih mengirim pesan pada Rangga, tapi tetap saja, tak ada tanda bahwa pesannya dibaca, bahkan Rangga terakhir aktif pada pukul delapan pagi tadi.

Sampai tepat pukul dua belas siang, masih tak ada kabar dari Rangga sama sekali. Meisya tak tahu harus bagaimana lagi menghubungi kekasihnya. Meisya masih terduduk di kubikelnya, meski sudah diajak pergi makan berkali-kali oleh rekan-rekannya. Meisya memilih menunggu Rangga.

"Pak Rangga ke mana sih? Nggak mau baikan sama gue apa ya?" ucap Meisya bermonolog. Wanita itu menelungkupkan kepalanya di atas meja. "Nggak kangen gue apa ya? Udah hampir empat hari saling diam-diaman. Dikira gue senang kayak gini apa?"

Beleaguered : Stopping on YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang