Chapter 47

16.9K 1K 65
                                    

Sepulang kerja, Meisya sudah berada di sebuah restoran pilihan Arinda. Dua wanita itu duduk berhadapan sambil menunggu pesanan mereka. Arinda masih tampak sibuk menjawab pesan dari sang suami, sedang Meisya hanya duduk sambil menatap kosong ke sembarang arah.

"Jadi, lo ada masalah apa? Sampai seharian penuh yang biasanya lo banyak tingkah mendadak diam dan suka melamun." Arinda memilih membuka percakapan karena tidak ada tanda-tanda Meisya akan sadar dari lamunannya.

Meisya mengerjapkan matanya. Ia buang napasnya. "Gue bingung, Rin."

Arinda memutar bola matanya jengah. "Ya, bingung kenapa, Maemunah?"

"Papih Rangrang ngajak gue nikah."

"Ya, terus? Tinggal nikah aja, 'kan?" tanya Arinda bingung.

Meisya menghela napasnya. Dia merasa kalut dengan pemikirannya sendiri. Tak banyak orang yang mengetahui perasaan yang dialaminya saat ini.

"Gue belum siap, Rin." Meisya menjawab dengan nada lemah.

"Ya, tinggal lo bilang aja, lo belum siap!" ujar Arinda gemas. "Bilang lo butuh waktu, Mes."

"Andai semudah itu, Rin. Gue udah bilang. Sudah sejak setahun lalu, Mas Rangga ngajak gue nikah. Dia udah tanya yang keempat kalinya," ucap Meisya yang membuat Arinda bungkam. "Gue udah bilang belum siap kemarin, tapi dia kayaknya capek sama jawaban gue yang selalu jawab belum siap, Rin." Meisya menjelaskan apa yang terjadi yang membuat Arinda tersenyum.

Wanita itu menghela napasnya. "Kalau gue boleh tahu, apa alasan lo belum siap, Meis? Udah sampai empat kali dia nanya loh, Meis."

"Gue ngerasa, gue nggak percaya sama diri gue sendiri, Rin. Gue takut nggak bisa jadi orang yang sesuai harapan. Gue takut, dengan kelabilan gue, gue bakal mengkhianati dia dan nyakitin dia, Rin. Gue nggak begitu yakin." Meisya menjawab pertanyaan Arinda dengan menahan sesak di dadanya.

Arinda mengangguk. Ia tersenyum. "Nangis aja, Mes! Nggak perlu ditahan!" Tangis Meisya akhirnya pecah. Arinda mengusap tangan temannya itu.

Pesanan mereka datang. Meisya masih menangis. Arinda belum banyak berkomentar. Dia biarkan Meisya mengeluarkan apa yang dia tahan terlebih dahulu. Arinda tahu, Meisya bukan orang yang mudah mengambil keputusan sendiri, wanita itu perlu dorongan dan motivasi untuk menyadarkan.

Arinda paham. Meisya juga bukan sosok yang mudah mengetahui apa yang hatinya inginkan. Pikirannya penuh dengan kemungkinan-kemungkinan buruk yang bahkan belum tentu terjadi.

"Gue ngerasa begitu, karena, gue kenal Kak Gista yang nggak plin-plan, baik, dewasa, pintar aja bisa mengkhianati kakak gue, Rin. Apalagi gue yang kayak gini. Gue takut menyakiti Mas Rangga." Meisya menjelaskan tanpa ada tuntutan dari Arinda. "Gue takut, kalau itu juga terjadi ke gue, Rin. Lo tahu, gue tipe orang yang mudah jatuh cinta, 'kan? Selain itu, aku adalah saksi kisah Arka dan Winda yang berkepanjangan. Apalagi saat Winda nggak punya siapa-siapa saat ia dibuang Arka selain gue. Dia yang ketakutan, membuat gue ikut takut. Mereka semua toxic. Hubungan mereka membuat gue semakin takut. Takut nanti gue bakal toxic."

Arinda menepuk punggung tangan Meisya. "Kata siapa, lo orang yang mudah jatuh cinta? Gue kenal lo. Lo bisa jaga komitmen lo dengan Papih Rangrang." Arinda tersenyum. "Selama dua tahun ini, gue lihat ada beberapa orang yang dekati lo. Bahkan yang lebih dari Papih, tapi selama ini, lo ngelirik aja enggak 'kan, Mes. Coba sadar deh, jangan takut lagi!"

"Tapi gue belum siap, Rin. Gue masih takut."

"Mau sampai kapan lo stuck di sini terus? Gue tanya, kalau semisal, Papih nanya lagi, jawaban lo masih sama?" tanya Arinda yang segera dijawab anggukan tanpa berpikir terlebih dahulu oleh Meisya. Arinda terkekeh. "Ini masalahnya. Lo ngejawab tanpa berpikir, bahkan untuk pertanyaan ke depan aja, lo udah ada jawaban otomatis. Kalau begitu terus, sampai kapan, Mes?"

Beleaguered : Stopping on YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang