Chapter 37

13.6K 967 20
                                    

Membaiknya hubungan Meisya dan Rangga membuat suasana hati keduanya juga turut membaik. Mereka kini menghabiskan waktu senggang mereka untuk saling mengenal lebih jauh. Seperti hari ini, saat akhir pekan seperti ini adalah waktu terbaik untuk menghabiskan waktu bersama.

"Meisya, Winda sudah pulang dari rumah sakit belum? Saya belum sempat jenguk," tanya Rangga yang membuat Meisya menepuk jidatnya.

"Oh iya, saya lupa. Saya hari ini disuruh ngangkut pakaian dan barang-barang dinrumah sakit, soalnya hari ini mau pulang juga. Mana di rumahnya, saya lupa nggak buat sambutan," ujar Meisya yang beru mengingat sesuatu.

Rangga mendengkus. Dia juga baru mengetahui sifat Meisya satu ini, dia itu pelupa, lebih tepatnya mudah melupakan sesuatu saat ada hal baru yang lebih menarik untuk wanita itu. Meisya memang akhir-akhir ini sedang asyik menjadi budak cinta Rangga. Jangan ditanya, seberapa sibuk Meisya untuk menarik perhatian lelaki itu.

"Apa sih yang nggak kamu lupain?" sindir Rangga yang membuat Meisya terkekeh.

"Yang nggak saya lupain cuma Mas Rangga seorang, pacar saya, calon popanya anak-anak," jawab Meisya sambil cengengesan.

Rangga menggelengkan kepalanya. "Ya udah, habis ini langsung aja ke rumah sakit. Saya juga mau jenguk Winda dan anaknya."

"Ih, Pak. Tahu nggak?" Rangga menggeleng yang membuat Meisya menepuk lengan lelaki itu. "Itu, anaknya Kak Praba sama Winda, si Pramatya, ganteng tahu, lucu, ingin saya karungin." Meisya berkata dengan menggebu-gebu.

Rangga menatap Meisya yang duduk di sampingnya. "Kamu ingin punya anak lucu?" Meisya mengangguk semangat. "Ya, makanya ayo nikah terus buat anak lucu. Saya jamin lucu sih, Meis, karena kalau dari fisik, kita sama-sama punya potensi besar."

Meisya berpura-pura terbatuk. "Duh, berat. Saya belum siap nikah, Pak. Beban rumah tangga itu banyak, Pak. Fisik, psikis, mental. Jujur, saya belum siap mental. Meski katanya dengan hidup bersama beban dipikul bersama, tapi ada beban baru yang harus lebih siap jiwa dan raga, Pak."

Rangga mengangguk. Ia usap kepala Meisya. "Iya, saya mengerti. Saya akan menunggu sampai kamu siap, Meisya."

Meisya menundukkan kepalanya. "Kalau masih lama, Bapak nggak masalah?"

Rangga tersenyum. Ia genggam tangan Meisya dengan lembut. "Saya sudah memilih kamu. Saya sudah yakin kalau kamu orangnya, jadi apa alasan saya untuk nggak nunggu kamu?" Meisya mendongakkan kepalanya dan menatap Rangga. "Saya sudah memilih kamu, jadi saya tak masalah untuk menunggu, Meis."

Meisya tahu, teramat tahu, ada pengharapan besar di diri Rangga untuk menjalin hubungan yang lebih serius padanya. Meisya memang terlihat bodoh dan tak tahu diri. Di saat perempuan di luar sana menginginkan posisi Meisya, mendapat keseriusan dari laki-laki, Meisya yang mendapat itu, malah menyia-nyiakan dan meminta waktu. Bukannya Meisya tak percaya pada Rangga, hanya saja, Meisya lebih tak percaya pada dirinya sendiri.

Meisya takut dirinya mengecewakan Rangga nantinya. Meisya itu memiliki sifat labil yang membuatnya ragu pada dirinya sendiri. Ia takut, perasaannya hanya sementara, dia butuh menguatkan perasaannya, dia butuh waktu untuk menguji dirinya sendiri.

"Oh iya, Pak. Bapak belum cerita masalah kontrak kerja Bapak," ucap Meisya yang membuat Rangga menaikkan sebelah alisnya. "Kata Arinda, Bapak nggak perpanjang kontrak di sana?"

Rangga mengangguk. "Beritanya cepat nyebar juga ya." Rangga menghentikan ucapannya saat pesanan yang memang mereka tunggu sedari tadi datang. "Iya, saya nggak perpanjang."

"Kenapa? Emang udah dapat tawaran baru? Atau mau jadi pengangguran?" tanya Meisya sambil menyipitkan matanya. "Kalau Bapak milih nganggur dan nggak ada usaha buat nyari duit sama sekali, saya bakal minta putus pokoknya. Ya kali, perempuan cantik seperti Meisya nanti menjadi tulang punggung keluarga dan suaminya nggak ada penghasilan sama sekali."

Beleaguered : Stopping on YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang