Sasi masuk ke kamarnya dan langsung meletakkan tasnya di atas meja belajar. Biasanya saat datang ke rumah hal yang langsung dipikirkan olehnya adalah tugas rumah. Tapi sekarang tidak ada tugas rumah di otaknya karena otaknya tengah menyuruh dirinya untuk melihat barang pemberian dari Danu yang katanya dari ibunya.
Atas kasur menjadi sasaran tempat duduknya. Sasi memperhatikan segala sisi barang itu dan berakhir di harga yang langsung membuat matanya melotot. "SATU JUTA?!"
Krim itu disimpan di atas meja belajarnya dengan hati-hati karena harganya itu yang membuat jiwa miskinnya meronta-meronta.
"Duh mahal banget," gerutunya kesal tapi disisi lain ia senang. Benda mahal seperti itu diberikan padanya apakah itu berarti Sasi spesial bagi ibunya Danu? Sasi menggelengkan kepalanya pelan membuang pikiran itu. Dia kan belum kenal sama sekali dengan ibunya Danu, hanya pernah berjumpa saja sekali.
Ia kembali duduk di kasur. Sasi memperhatikan kaki kanannya sebagai patokan. Bulu-bulunya tidak terlihat tapi jika diperhatikan lebih detail, bulu itu mulai tumbuh sedikit. Dari situ Sasi percaya bahwa bulunya akan tumbuh kembali, tinggal tunggu waktu saja.
"Ck! Percuma deh gue beli kaya gituan ujung-ujungnya tumbuh lagi."
"Guenya enggak modal sih, kudunya beli yang agak mahal dikit," tambahnya jujur.
Gadis itu masih tetap dalam posisi duduknya tanpa gerakan sedikitpun. Tapi siapa sangka diamnya Sasi sedang memikirkan sesuatu, apalagi jika bukan pekerjaan rumah. Bisa-bisanya ia santai-santai seperti ini sedangkan tugas rumah menunggu Sasi mengerjakan.
"Huh," Sasi menghela napasnya kasar. Lebih baik segera ia lakukan daripada ditunda-tunda.
Besok paginya Sasi berangkat. Hari ini hari Jumat yang merupakan hari terakhir sekolah, pada Minggu ini maksudnya.
Berangkat menggunakan ojek online seperti biasa. Sesampainya di sekolah juga ia bertemu orang-orang seperti biasa. Tidak ada yang berbeda dari hari-hari sebelumnya.
Saat duduk di kursi dan menyimpan tasnya, barulah ia menyadari di sampingnya ada Uci. Bukan kehadiran Uci yang membuatnya merasa aneh melainkan postur tubuhnya. Uci memasang posisi seperti yang dilakukan oleh Danu yaitu kepala diletakkan di atas meja dengan tangan yang melingkari area kepala agar wajahnya tidak terlihat.
Teman sebangkunya sudah datang yaitu Rema. Hal itu membuat Sasi berhenti berpikir bahwa Uci seperti itu karena tidak ada temannya. Mereka berdua ada tapi tidak mengobrol, itu membuat Sasi berpikir mereka sedang marahan.
Rema tengah fokus pada ponselnya. Kepalanya mendongak lurus dan tak sengaja berpas-pas an dengan matanya Sasi.
Sasi menunjuk Uci dengan dagunya dan memberi isyarat bertanya ada apa dengan Uci. Rema pun membalasnya dengan isyarat lagi yaitu mengangkat bahunya acuh dan kembali fokus lagi pada ponselnya.
"Si, gimana krimnya? Manjur?" Sasi menghadapkan tubuhnya ke depan. Ia memperhatikan Danu dari ujung kepala sampai perut karena bagian bawahnya tertutup dengan meja. Ada perubahan pada lelaki itu, rambutnya terlihat lebih rapih dan Sasi suka itu. Perubahan lainnya yaitu baju yang dimasukkan ke dalam celana yang membuatnya terlihat lebih rapih.
"Enggak tahu, belum gue coba." Jawab Sasi.
"Aih, kenapa??"
Sasi menghela napasnya kasar kemudian memberanikan diri menatap mata Danu. "Jangan bahas hal kaya gitu di tempat rame kaya gini, Nu."
"Hm iya deh,"
"Disuruh ngumpulin LKS bahasa Indonesia, buat penilaian." Ucap Danu sebelum pada akhirnya ia pergi ke kursi sendiri untuk menyimpan tas, bukan duduk karena ia ingin menagih LKS teman-temannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Sasi (END)
Teen FictionSasi, perempuan pendiam di kelas. Sangat misterius. Dalam sejarahnya, tidak ada lelaki yang mendekati Sasi. Padahal usia gadis itu sudah bisa dibilang remaja. Biasanya para remaja akan membuat kisah remajanya sendiri. Namun kisah Sasi sangatlah polo...