Sebuah taksi berhenti di depan pagar rumah yang besar nan mewah. Terlihat Ingrid menuruni taksi tersebut dan dengan malasnya membuka pagar itu sendiri. Tentu saja siapa lagi yang akan melakukannya kalau bukan dirinya sendiri?
Rumah yang terlalu besar ini hanya ditinggali Ingrid seorang diri dan orang tuanya yang sesekali pulang-kalau ingat. Rumah yang didominasi oleh tanaman, batu alam, dan konsep ruang terbuka ini memang sangat sepi. Setiap minggunya akan ada seorang asisten rumah tangga dan tukang kebun yang datang untuk membersihkan dan merawat rumah tersebut.
Sebetulnya bisa saja Ingrid meminta asisten rumah tangga dan tukang kebun tersebut untuk bekerja secara penuh dan tinggal di sana, namun Ingrid menolaknya.
"Cukup Ingrid aja yang kesepian di sini. Ingrid nggak mau bikin orang lain juga ikut kesepian," jelas Ingrid sambil berlalu pergi meninggalkan orang tuanya yang telah memegang koper milik masing-masing.
Dengan langkah gontai Ingrid memasuki dapur sambil melemparkan tasnya ke atas meja makan. Ia lalu berjalan menuju kulkas empat pintu dan membukanya. Tangannya mengambil apa saja yang bisa ia makan tanpa perlu dimasak.
Ingrid kini duduk di meja makan sambil menghabiskan satu pint es krim rasa pisang caramel. Tidak sampai sepuluh menit, seluruh es krim tersebut telah habis.
"Masih laper, euy," ucap Ingrid pada dirinya sendiri sambil berjalan menuju kulkas.
Kini Ingrid mengecek kulkas pintu bawah, banyak makanan siap saji yang tinggal dihangatkan berjajar rapi di dalam kulkas tersebut. Ingrid mengambil satu kotak nasi goreng dan satu kotak lauk isi gorengan bakso. Dengan tangan cepat ia menyalakan microwave dan menghangatkan makanannya.
Seusai makan, Ingrid berjalan menuju kamarnya yang terletak di lantai dua. Matanya sayup-sayup karena masih mengantuk.
"Apa gua beli skuter aja ya buat di dalem rumah? Cape, gede banget sih rumahnya," gerutu Ingrid sambil menaiki beberapa anak tangga terakhir menuju kamarnya.
"Tapi kan gua bakal naik turun tangga ya, ribet dong kalo pake skuter," bicaranya lagi pada dirinya sendiri. "Paling bener pasang lift aja sih di rumah ini," lanjutnya dan berhasil mencapai ke pintu kamarnya.
Kali ini ia mempercepat langkahnya dan membanting dirinya di atas ranjang yang empuk. Ingrid sangat mengantuk.
Kemarin ia ikut balapan trail di daerah perhutanan. Ingrid baru tiba di rumah pukul 6 pagi tadi. Itu pun masih ditambah dirinya yang ketiduran di ruang tamu. Suara ponselnya yang berdering justru membangunkannya. Menyesal ia tadi pagi tetap masuk ke sekolah. Tahu begitu lebih baik ia tidur saja dari awal.
•••
Ingrid terbangun dari tidur lelapnya. Ia sangat haus. Ketika menuruni tangga rumahnya untuk ke dapur, Ingrid sempat melihat jam besar yang terpasang di dinding rumahnya, pukul 5 pagi. Ah, berarti Ingrid masih punya banyak waktu untuk bersiap-siap.
Setelah mandi waktunya untuk membuat sarapan. Masih ada waktu satu jam sebelum Ingrid berangkat ke sekolah. Ngomong-ngomong berangkat ke sekolah, Ingrid jadi teringat motornya yang masih ditahan di sekolah.
"Ah, kepsek rese," gerutu Ingrid sambil mengoleskan mayones di rotinya saat mengingat motor kesayangannya. "Nggak apa-apa lah, nanti gua bawa mobil aja. Gua nego, biar mereka nahan mobil, motornya gua bawa pulang."
Suara bel rumahnya seketika menghentikan kegiatan sarapan Ingrid. Dengan langkah malas ia berjalan menuju pintu. Betapa terkejutnya Ingrid saat melihat Dirga, berdiri di depan pagar rumahnya dengan motor trail biru neon Ingrid di belakangnya.
Sambil berlari Ingrid segera membukakan pagar rumahnya yang besar itu.
"Bapak tahu dari mana alamat rumah saya? Ini motor kenapa Bapak yang bawa? Wah, berarti niat Bapak waktu nyita motor saya memang udah nggak bener," cecar Ingrid.
Dirga menatap Ingrid dengan tatapan tajam sampai ia menyadari bahwa ada yang salah dengan seragam Ingrid.
"Kamu kenapa pakai seragam itu?" tanya Dirga sambil menyedekapkan tangan di depan dada.
Ingrid menautkan alisnya bingung, "Lah? Ya saya mau sekolah, Pak."
"Hari apa ini, Ingrid Fadelia?"
"Selasa, 'kan?" balas Ingrid masih dengan tatapan polos dan bingung.
Dirga terkekeh, "Hari ini hari RABU, Ingrid!" seru Dirga sambil menyentil dahi Ingrid.
Ingrid terkejut. Sangat terkejut. "Ya Tuhan!" serunya sambil memegang kepalanya dengan kedua tangannya. Ia mengacak-acak kasar rambutnya.
Dirga menatap bingung.
"Saya ketiduran dari hari Senin, Pak!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dealing with My Principal (End✅)
Teen FictionTahun ajaran baru, SMA Wardana memiliki kepala sekolah baru-beliau masih sangat muda! Panggil saja Pak Dirga. Usut punya usut, ternyata Pak Dirga anak dari kepala sekolah sebelumnya. Menjadi kepala sekolah muda bukan hal yang mudah, apalagi jika sud...