Lima - Kebohongan

231 14 2
                                    

Dirga yang sedari tadi menguping pembicaraan Ingrid dan Astrid sudah tak sabar ingin menampakan dirinya, alias ikut nimbrung. Ia sedari tadi mendengarkan dengan seksama dan menyadari bahwa Ingrid bisa bercerita dengan sangat asyiknya.

"Liat aja tuh si Ira! Saya nggak akan masuk ke kelasnya dia sama sekali. Dia sendiri yang bilang nggak suka lihat saya ada di kelasnya."

Suara Ingrid yang terdengar sangat jelas membuat Dirga semakin tidak tahan untuk tidak nimbrung. Dirga pun berdeham sambil keluar dari ruangannya. Ingrid seketika terdiam ketika mendengar langkah kaki Dirga yang mendekati dirinya.

"Sayang sekali, Ingrid Fadelia. Saya sedang menyusun peraturan baru bahwa murid SMA Wardana yang nilai presensinya kurang dari 65% tidak akan diluluskan. Jadi sepertinya kamu harus tetap mengikuti kelas bu Ira."

Bohong. Dirga tidak pernah merencanakan aturan tersebut.

"Bapak ngapain ikut-ikut di sini? Hush, pergi sana! Saya lagi girls talk sama bu Astrid," usir Ingrid tanpa rasa segan sekalipun terhadap Dirga. Rasanya sejak awal Ingrid memang tidak pernah menunjukan sikap sopannya terhadap kepala sekolah barunya ini.

"Anak-anak yang presensinya kurang dari 65% akan mendapatkan hukuman agar bisa mengejar ketertinggalan presensinya," Dirga tetap melanjutkan kebohongannya.

Ingrid kini memegang permennya, "Oh ya? Apakah itu?" tanyanya dengan nada mengejek.

Dirga kini mengambil posisi tepat di samping Ingrid. Ia melirik ke arah permen di tangan Ingrid, kemudian menatap dalam manik Ingrid. "Belajar di ruang kepala sekolah," bohongnya dengan pasti.

Ingrid terkekeh pelan, "Wow, kalau begitu saya daftar jadi murid pertama yang kena hukuman. Harusnya saya sudah qualified 'kan, Pak?"

Ingrid Fadelia memang tidak ada takutnya.

"Saya lebih baik belajar sendirian di tempat yang nyaman daripada harus satu ruangan dengan orang-orang yang jelas nggak suka dengan saya," lanjut Ingrid. "Lagi pula, bagus kalau saya bisa belajar di ruang pak Dirga. Kalau bosan saya tinggal ke sini untuk ketemu sama bu Astrid yang paling saya sayangi," tambah Ingrid sambil mengendikan bahunya persis seperti tokoh antagonis dalam telenovela.

Dirga mengeraskan rahangnya sambil berpikir bagaimana cara membalas ucapan anak modelan Ingrid. Ia kini mengganti topik dan kembali mengeluarkan jurusnya, "Kunci mobilmu masih ada di saya, saya sita."

Dalam hati Ingrid seperti ia menang telak! Pemikirannya pagi ini terkabul begitu saja. Kedatangan Dirga tadi pagi ke rumahnya menjadi kesempatan emas bagi Ingrid untuk menukar motornya dengan mobilnya. Bagi Ingrid, apapun akan ia tukar agar motornya bisa tetap berada dalam radarnya.

Ingrid terkekeh kemudian berkata, "Sita aja, Pak. Nanti sekalian BPKB dan STNK-nya saya kasih ke pak Dirga, lumayan kalau mau dijual."

•••

Ira memasuki ruangan Dirga dengan perasaan yang tidak karuan. Rasanya sejak mendengar namanya dipanggil melalui pengeras suara sekolah membuat dirinya tak habis pikir apa yang sudah ia lakukan hari ini.

"Silakan duduk, bu Ira," ucap Dirga dengan nada dingin dan tegas. Sangat berbeda dengan dirinya saat upacara pembukaan tahun ajaran baru kemarin.

Ira mengikuti arahan Dirga untuk duduk di sofa ruangan kepala sekolah. Diikuti Dirga yang juga duduk di seberangnya.

"Sebetulnya saya mendapat laporan dari beberapa murid tentang apa yang terjadi di kelas pertama Anda hari ini."

Bohong. Hanya cerita Ingrid yang Dirga dengar. Itupun hasil nguping.

"Maaf pak Dirga, izinkan saya meluruskan apa yang terjadi sesungguhnya-" ucapan Ira terhenti karena Dirga mengangkat tangannya, isyarat Ira perlu diam.

Dirga berdeham, "Saya memahami kekesalan bu Ira terhadap siswi Ingrid Fadelia, dengan mendengar tentang sikapnya saya sudah membayangkan bagaimana perasaan Ibu selama ini terhadap Ingrid," jelas Dirga membuat Ira sedikit bernapas lega. Pemilihan kata yang sangat tepat untuk mempermainkan psikologi lawan bicara.

Dirga kemudian melanjutkan, "Tetapi, saya juga tidak membenarkan tindakan bu Ira yang mengucapkan hal-hal yang tidak pantas terhadap Ingrid. Saya ingin mengingatkan kembali posisi bu Ira, Anda adalah seorang guru. Teladan bagi murid-murid.

Kalau gurunya sendiri yang justru berbicara tidak pantas terhadap muridnya, apa yang akan terjadi pada murid-muridnya nanti?"

Ira sudah menunduk sejak tadi sambil merenungkan kata-kata Dirga. Sejak tadi Dirga menasehatinya layaknya seorang ayah yang menasehati anaknya.

"Kalau begitu, saya akan mengabulkan permintaan bu Ira," ujar Dirga.

Ira mengangkat kepalanya, "Eh? Saya tidak meminta apa-apa, Pak?"

Dirga menaikan sebelah alisnya, "Ibu berkata tidak suka jika ada Ingrid di dalam kelas Ibu. Saya jadi berpikir pasti akan ada beberapa guru lain yang juga merasakan hal yang sama. Jadi saya memutuskan, saat rapat mingguan hari Jumat nanti akan mengumumkan kepada semua guru kalau siswi Ingrid Fadelia mulai hari Senin depan akan belajar di ruangan saya."

Dealing with My Principal  (End✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang