Hari Minggu yang cerah, Ingrid saat ini sedang pergi bersama Deo dan Septa ke sebuah kafe yang sedang naik daun, anggap saja sedang hangout. Tiga sekawan tersebut duduk mengelilingi sebuah meja berbentuk bundar.
"Wah! Gila gak nyangka semester satu udah mau selesai," seru Septa sambil meregangkan tangannya ke atas dan menyenderkan punggungnya ke kursi.
Deo kemudian mengadahkan kedua tangannya seakan-akan sedang berdoa, "Ya Tuhan, semoga habis ujian ada liburan perpisahan."
"Lah? Kan emang ada?" sahut Ingrid membuat Deo dan Septa langsung terkejut tak percaya.
"Tau dari mana lo?" tanya Septa.
"Pak Dirga," jawab Ingrid ringan.
Deo dan Septa kini bertatap-tatapan.
Deo kemudian bertanya, "Pak Dirga ada kepentingan apa sama lo sampe bisa ngasih tau hal-hal kayak gitu?"
"Kita bakal liburan ke mana?" kali ini Septa bertanya.
"Lo ada hubungan apa sama pak Dirga?"
"Grid, jawab,"
"Haduh! Kok kalian jadi sewot ke gua sih?" balas Ingrid yang pusing karena dicecar oleh Deo dan Septa. "Gini ya, denger baik-baik," ucap Ingrid bersiap untuk mulai bercerita.
Deo dan Septa langsung menyiapkan telinga untuk mendengar penjelasan Ingrid.
"Gua tinggal di rumah Pak Dirga selama ini, setelah kecelakaan itu. Gua sering ngobrol sama dia, bahas apa pun itu. Pak Dirga ada kepentingan apa sama gua? Ya bisa dibilang banyak, setelah kecelakaan gua punya banyak kepentingan sama dia." Penting ngapain tapi ya hmm.
Deo menganga setelah mendengar pengungkapan fakta dari Ingrid. "Grid, jangan-jangan lo sama pak Dirga udah—" ucapan Deo terputus sedangkan kedua ujung jari telunjuknya ia main-mainkan, seperti memberi tanda 'sesuatu'.
Ingrid refleks menendang kaki Deo dari bawah meja, "Sembarangan lo! Gua cuma numpang tinggal doang di rumahnya, kalian tau sendiri kan rumah gua sebesar Ragunan dan gua sendirian."
"Huu! Tau nih si Deo oon!" sorak Septa sambil melemparkan gulungan tissue bekas ke wajah Deo. "Jadinya kita liburan ke mana, Grid?"
"Bali," jawab Ingrid sambil senyum pepsodent.
•••
Dirga yang sedang membaca koran di sofa mendesah khawatir lantaran Ingrid pergi dari rumahnya tanpa berpamitan. Sudah tiga jam Dirga menunggu Ingrid untuk pulang. Dihubungi lewat panggilan seluler juga tak kunjung diangkat.
"Mana si bocah itu ...." tutur Dirga resah sambil sesekali memerhatikan jam pada ponselnya.
Suara mobil yang terhenti di depan rumahnya, membuat Dirga langsung mengintip ke arah jendela. Kekhawatirannya usai, nampak Ingrid turun dari taksi dan berjalan memasuki pekarangan rumah. Dengan terburu-buru, Dirga kembali ke posisinya semula.
"Baru saya tinggal ke pasar kok langsung hilang," sindir Dirga sambil tetap pura-pura membaca koran.
"Berisik ...." gumam Ingrid pelan sambil berjalan menuju kamarnya.
Telinga Dirga yang berhasil mendengar gumaman Ingrid membuat dirinya tambah kesal. Dengan cepat Dirga mengikuti Ingrid menuju kamarnya.
Dirga berdiri di ambang pintu sambil memerhatikan Ingrid yang melepas jaketp dan tasnya lalu melemparkan tubuhnya ke atas ranjang. Ingrid memunggungi Dirga yang sedari tadi menunggunya.
"Saya dengar beberapa waktu yang lalu—saat saya sedang pertemuan di luar kota—kamu bertengkar dengan Friska?"
Ingrid tetap tak bergeming.
"Kamu memang gak mau liburan sama say—motormu, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dealing with My Principal (End✅)
Fiksi RemajaTahun ajaran baru, SMA Wardana memiliki kepala sekolah baru-beliau masih sangat muda! Panggil saja Pak Dirga. Usut punya usut, ternyata Pak Dirga anak dari kepala sekolah sebelumnya. Menjadi kepala sekolah muda bukan hal yang mudah, apalagi jika sud...