Tiga Puluh - Sadar

173 8 0
                                    

Ingrid merasa hawa dingin menusuk buku-buku jarinya. Matanya yang sekian lama terpejam, tanpa disadari terbuka. Bau rumah sakit langsung menyeruak ke dalam penciumannya. Ah, Ingrid masih diberi kesempatan hidup rupanya.

"Di-dirga...?" Ingrid bersuara dengan pelan tetapi berhasil menyadarkan Fidelis dari lamunannya.

Fidelis sontak panik dan langsung menekan tombol pemanggil petugas medis. "Ingrid, how are you?" tanya Fidelis sambil berusaha mengusap rambut Ingrid.

"P-pak Dirga mana?" lirih Ingrid.

"Pak Dirga siapa, sayang?" tanya Fidelis sambil tetap mengusap rambut Ingrid.

Ingrid mulai merasakan air mata merembes dari ujung matanya. Ia berpikir jangan-jangan Dirga sudah tidak selamat?

Bertepatan dengan itu, dokter dan beberapa suster lainnya masuk untuk memeriksa kondisi Ingrid setelah siuman.

"Kita bicarain ini nanti ya," bisik Fidelis lalu menjauh dari Ingrid.

•••

"Oh my Gosh! Ingrid!" teriak Deo dan Septa dari ambang pintu saat melihat Ingrid sudah sadar.

"Gila! Lo beneran bikin gua nangis tiap malem!" seru Deo sambil berlari kecil ke arah bangsal Ingrid.

Ingrid yang melihat kedua sahabatnya datang langsung memberikan gestur kepada Fidelis untuk meninggalkan mereka bertiga. Fidelis pun mengiyakan permintaan Ingrid.

"Sumpah nyokap lo luar biasa! Gua sama Deo langsung dipesenin flight ke Singapur waktu tau lo udah siuman," Septa mulai bercerita.

Ah, Ingrid akhirnya mengerti kalau ia sekarang berada di Singapura. Pantas saja pemandangan gedung-gedungnya terlihat sedikit berbeda. Bahkan dirinya tidak menyadari kalau dokter dan suster disekitarnya berbicara menggunakan bahasa Inggris.

"Gua... Udah berapa lama gua koma?" tanya Ingrid hati-hati.

Deo dan Septa bertatap-tatapan sejenak. Akhirnya Septa memilih untuk berbicara lantaran Deo sudah kembali ingin menangis.

"Gua gak yakin tanggal pastinya, tapi sekarang udah lewat enam bulan sejak kita wisuda, Grid," jawab Septa.

Ingrid mencelos mendengarnya. Ternyata waktu sudah berlalu begitu saja selama ia terbaring di sini?

"Pak Dirga... gimana?" tanya Ingrid lagi.

"Pak Dirga siapa, Grid?" jawab Deo kembali bertanya.

"Pak Dirga kepala sekolah kita!" seru Ingrid.

Deo dan Septa sama-sama menggelengkan kepalanya. Ingrid yang melihatnya kini malah tambah bingung dan sakit kepala.

"Ingrid," panggil Septa sambil meraih tangan Ingrid yang tidak terinfus, "Kepala sekolah kita kan pak Wibisono, masa lo lupa?"

Sumpah, Ingrid betul-betul ingin bersumpah. Ada apa ini? Semua orang mengapa membuatnya sakit kepala?

"Waktu itu gua kecelakaan bareng pak Dirga! Pak Dirga kepala sekolah SMA Wardana!" Ingrid berbicara sambil memohon agar kedua sahabatnya ini bisa percaya dengan ucapan Ingrid.

Deo menatap Ingrid dengan tatapan kosong, "Lo beneran gak inget, Grid? Lo waktu itu kan kecelakaan tunggal."

Hah?

Tunggu. Ada yang salah. Selama setahun terakhir ini Ingrid melewati hari-harinya bersama Dirga. Bagaimana bisa tiba-tiba kedua sahabatnya tidak mengenali Dirga?

Ingrid mengelus pelipisnya pusing. Ia sedang berpikir, apakah ingatannya yang memang salah atau ingatan orang lain yang justru salah?

"Gua mau pulang."

Dealing with My Principal  (End✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang