Dirga sedari tadi duduk di tepi ranjang Ingrid. Ia menunggu Ingrid yang masih memunggungi dirinya untuk bercerita. Dirga kembali melirik jam di atas nakas, sudah berlalu 15 menit sejak Ingrid memunggungi Dirga.
"Ingrid, please, tell me where were you? What happened with you?" pinta Dirga.
Ingrid terbatuk kecil, namun tetap enggan untuk menghadap Dirga.
"Pak Dirga sounds like my mo—eh, gak jadi," Ingrid kemudian melanjutkan, "Mama Ingrid gak pernah bawel kayak pak Dirga."

"Bawel?" nada Dirga meninggi. "Saya kelihatan bawel menurutmu?"
Ingrid terdiam.
Dirga menggumam pelan, "Ternyata rasa peduli saya hanya sebatas dianggap bawel ...."
Dengan langkah cepat Dirga meninggalkan Ingrid yang kini sedang berusaha keras untuk tidak mengeluarkan suara dalam isak tangisnya. Ingrid menggigit bibirnya keras-keras untuk menahan tangisannya.
•••
Ingrid, Deo, dan Septa yang sedang asyik bercerita seketika terdiam lantaran ada seorang ibu muda yang menghampiri Ingrid.
"Mama?" ucap Ingrid setengah membisu.
Aneh. Sangat tidak masuk akal bagi Ingrid. Mamanya yang super sibuk itu mengapa bisa berada di tempat ini dan saat ini?
"Kamu selama ini di mana?" tanya Mama Ingrid mendekati Ingrid.
Deo dan Septa yang bisa membaca situasi, menyadari kalau mereka tidak seharusnya tetap berada di sana. Namun tangan kiri Ingrid mencekal tangan Septa, dengan gelengan kepala Ingrid meminta tolong agar kedua sahabatnya tidak pergi. Akhirnya Deo dan Septa pun hanya bisa mematung di tempat mereka saat ini.
"Ingrid menghindari Mama?"
Tatapan mata Ingrid kini seakan-akan sudah bersiap untuk menusuk siapapun yang ia lihat. Dahinya berkerut, alisnya hampir saja bertemu.
"Mama gak ngerti lagi kamu maunya apa! Mama sudah beri kamu kebebasan untuk menggunakan semua fasilitas yang Mama sediakan. Mama gak ngatur-ngatur kamu. Mama penuhi semua kebutuhanmu, Ingrid!" Nada bicara Mama Ingrid berubah menjadi amarah.
Ingrid tetap terdiam sambil menatap Mama.
"Tapi ternyata begini kelakuanmu! Kabur dari rumah, gak pernah hubungi Mama atau pun Papa, dan kamu tau Ingrid batas kesabaran Mama habis di mana?" Mama melanjutkan amarahnya, "Waktu kamu bilang ke pihak rumah sakit kalau kamu yatim piatu! Your parents is still fucking alive, Ingrid!"
Masa bodo dengan pengunjung dan pegawai kafe yang saat ini penasaran akan pertengkaran ibu dan anak di kafe. Semuanya sibuk merekam, berbisik-bisik sambil berspekulasi, dan tentunya menjadi penonton setia.
"Justru Ingrid yang gak bisa ngerti Mama maunya apa!" Ingrid mulai membalas ucapan Mamanya.
Ingrid bangkit berdiri, kini mereka saling berhadap-hadapan dengan jarak kurang dari selangkah.
"Mama selama ini gak pernah peduli sama Ingrid! Bahkan mungkin inget punya anak namanya Ingrid aja enggak. Tapi tiba-tiba Mama papasan sama Ingrid lalu marah-marah di tempat umum kayak gini! The heck?Who the hell are you?" amarah Ingrid saat ini juga ikut memuncak.
Hari ini, semua kekesalan yang sudah ia pendam sepanjang hidupnya harus dikeluarkan.
"Mama marah karena aku gak pernah hubungi Mama atau Papa? Pernah gak sekali aja aku marah ke Mama karena gak pernah hubungi Ingrid duluan? Harus selalu Ingrid yang telpon duluan habis itu pasti Mama selalu alasan klien ini lah meeting itu lah, fuck off!"
Ingrid sudah sangat siap jika dianggap sebagai anak durhaka. Tapi siapa yang pernah merasakan rasanya jadi seorang Ingrid? Hanya dibesarkan dengan uang. Mungkin Ingrid memang selalu terlihat menerima dan senang dengan kenyataan bahwa ia hanya dibesarkan dengan materi, tetapi dalam dirinya juga ada keinginan untuk merasakan sebuah keluarga.
Ingrid kemudian melanjutkan, "Daripada disebut membesarkan sebuah anak, Mama lebih seperti membuat Ingrid jadi peliharaan. Hanya dikasih makan."
Ingrid langsung menyambar tas kecilnya, "Bahkan hewan peliharaan juga harus diberi perhatian dan ditemani, Ma."
Dengan begitu Ingrid selesai dengan amarahnya. Ia meninggalkan kafe dengan langkah cepat. Semua orang hanya bisa membisu mendengar ucapan Ingrid.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dealing with My Principal (End✅)
Fiksi RemajaTahun ajaran baru, SMA Wardana memiliki kepala sekolah baru-beliau masih sangat muda! Panggil saja Pak Dirga. Usut punya usut, ternyata Pak Dirga anak dari kepala sekolah sebelumnya. Menjadi kepala sekolah muda bukan hal yang mudah, apalagi jika sud...