Enam - Hampir Bahaya

236 14 0
                                    

Minggu malam, tepat pukul 9, Ingrid melajukan motor trail kesayangannya menuju ke tempat perkumpulannya. Malam ini, Ingrid tidak akan mengikuti balapan, namun ia akan mendukung temannya yang mengikuti pertandingan. Angin malam yang menusuk tulang-tulangnya membuat Ingrid menambahkan kecepatan motornya. Ia ingin segera sampai di arena pertandingan.

Sesampainya Ingrid di sana, ia langsung mendapati teman-temannya berkumpul. Mereka yang melihat Ingrid langsung tersenyun sambil melambaikan tangannya.

"Wets, tuan putri dah dateng, nih!"

"Silakan duduk, Neng! Silakan!"

"Apa kabar, cantik?"

Dan suara-suara lainnya yang menyapa Ingrid. Maklum saja mereka memperlakukan Ingrid seperti itu, Ingrid satu-satunya pembalap perempuan dalam komunitas mereka. Semua laki-laki di sana menganggap Ingrid sebagai adik kecil yang harus dijaga baik-baik.

Ingrid yang sudah terbiasa menjawab sapaan-sapaan tersebut dengan ramah. Berbincang-bincang mengenai apapun, hingga akhirnya Ingrid menyadari belum bertemu dengan bintang utama mereka malam itu.

"Oh iya, si Fandy mana?" tanya Ingrid sambil mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Mencari salah seorang teman yang spesial di antara kerumunan orang.

"Tadi masih siap-siap. Katanya kalau udah selesai bakal langsung ke sini," jawab Bayu, salah satu dari antara laki-laki di sana.

Benar saja ucapan Bayu. Tak lama kemudian terlihat Fandy yang sudah siap dengan baju balapnya datang menghampiri mereka. Ingrid menyunggingkan senyumnya yang lebar kepada Fandy.

"Ingrid udah di sini ternyata," ucap Fandy sambil memberikan 'salam' kepada teman-temannya.

"Iya dong, gua 'kan mau nyemangatin lo, Ndy," ujar Ingrid sambil menerima 'salam' dari Fandy. Ingrid kemudian menarik Fandy ke dalam pelukannya, "Semangat yah, buat pertandingannya malam ini!" ucap Ingrid menyemangati Fandy sambil menepuk-nepuk punggung Fandy.

Semua orang sontak bersorak ria dengan tatapan iri.

"Duh kapan ya gua boleh diturunin ikut tanding?"

"Jadwal tanding gua masih lama, sih."

"Tiap gua tanding Ingrid lagi nggak bisa dateng."

"Gua cuma jualan cangcimen di sini."

Padahal pelukan semangat dari Ingrid adalah hal yang lumrah bagi mereka. Sudah menjadi tradisi kalau ada yang akan ikut bertanding maka mendapat pelukan semangat dari Ingrid. Sedangkan bila Ingrid yang akan bertanding, maka semua orang akan bergantian memeluk Ingrid untuk memberikan semangat.

Ingrid yang melepaskan pelukannya kemudian mendapat hadiah dari Fandy yang mengacak-acak rambutnya. Fandy kemudian mengecup kilat puncak kepala Ingrid.

"Doain gua, yah!" seru Fandy optimis kemudian berpamitan dengan teman-temannya untuk memasuki jalur pertandingan.

Semua motor kini saling bersahut-sahutan menderukan mesinnya di garis start. Semua orang yang menjadi penonton di kanan dan kiri saling meneriaki nama jagoan masing-masing. Dan dalam hitungan mundur, bendera start pun dinaikan.

Motor-motor trail yang berjajar rapi tadi kini hanya meninggalkan jejaknya saja. Para kuda besi sudah memacu kecepatannya untuk melewati jalur dan rintangan yang ada.

Setengah jam berlalu, tiba-tiba terdengar suara sirine polisi. Semua orang yang masih menunggu jalannya pertandingan seketika runyam dan panik. Masing-masing sibuk menyelamatkan diri. Begitu pula dengan Ingrid yang dengan sigap berlari menuju motornya dan menyalakan mesin motornya.

Sial.

Motor Ingrid tak mau distarter. Beberapa kali ia menyalakan dengan engkol, tetap saja motornya tak mau menyala. Sedang suara sirine semakin mendekat.

"Minggir!" suara seseorang berteriak di samping Ingrid kemudian berhasil menyalakan motor Ingrid. Ia lalu menaiki motor Ingrid, "Ayo cepetan naik!" serunya dan tanpa pikir panjang Ingrid segera menuruti perkataannya.

Setelah melewati jarak tiga kilometer barulah dirasa aman karena motor Ingrid sudah memasuki jalan raya. Ingrid yang sedari tadi melamun baru sadar bahwa orang yang sedang menyetir motornya ini adalah seseorang yang ia kenal.

"Pak Dirga?!" seru Ingrid dari belakang Dirga.

"Kita langsung ke rumahmu aja, ya!" balas Dirga sambil sedikit berteriak.

Dirga semakin menambah kecepatan motor yang dikendarainya. Motor trail berwarna biru neon tersebut membelah jalan raya yang dipayungi lampu kota. Satu jam kemudian sampailah mereka di rumah megah Ingrid.

Dealing with My Principal  (End✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang