Dua Belas - Tawaran

199 16 0
                                    

Ingrid terbangun dengan rasa sakit yang luar biasa pada pelipis dan tengkorak belakangnya. Kedua sikunya pun terasa perih untuk digerakkan.

"Ouch," desis Ingrid yang merasakan linu di sekujur tubuhnya.

Seorang perawat yang sedang mengecek kondisinya terkejut kala Ingrid sudah siuman.

"Nyonya Ingrid, bisa dengar suara saya?" tanya sang perawat.

"Saya kok masih hidup?" Ingrid balik bertanya.

Sang perawat tersenyum semanis minuman boba yang Ingrid sangat tidak suka, "Syukur nyonya Ingrid masih cepat sadar. Kecelakaan motor hari ini mengakibatkan beberapa luka dan cedera. Sebelum saya panggilkan dokter, boleh saya tahu siapa yang bisa pihak rumah sakit hubungi ke keluarga nyonya Ingrid?"

Ingrid membuang pandangannya ke arah jendela kamar, "Saya yatim piatu."

Sang perawat agak terkejut kemudian menawarkan pilihan lain, "Ada kerabat lain yang bisa dihubungi?"

Ingrid terdiam sebentar. Sebetulnya sedang menertawakan dirinya dalam hati, ia bahkan tidak mempunyai kerabat yang tinggal dekat dengannya. "Telpon ke SMA Wardana aja, Sus," pinta Ingrid dan disanggupi oleh sang perawat.

Tepat sepuluh menit setelah sang perawat meninggalkan ruangan, terdengar suara ribut dari lobi rumah sakit. Setelah itu nampak wajah Dirga yang sangat panik diikuti dengan pak Guntur.

"Astaga, Ingrid!" pekik Dirga sambil berlari menuju bangsal Ingrid.

Dirga yang tak sadar ingin memeluk Ingrid langsung ditepis, "Ah! Sakit, Pak!"

Pak Guntur menatap Ingrid dengan raut tak terdefinisikan.

"Eh ada pak Guntur," ucap Ingrid sambil cengengesan.

"Waktu pihak rumah sakit telpon ke tata usaha-Astrid-saya kebetulan lagi ada di sana," jelas pak Guntur. "Kamu pasti tadi nggak pake helm ya, Grid?" tanya pak Guntur.

Ingrid menjawab dengan cepat, "Pake kok, Pak!" Ingrid kemudian mengingat-ingat kembali, "Tapi nggak dikancing, kayaknya."

Pak Guntur yang mendengarnya langsung berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kecelakaan Ingrid hari ini pasti akan dijadikannya bahan pidato di upacara bendera berikutnya. Berkat pak Guntur, Ingrid yang sangat bar-bar ini sering dijadikan contoh bagi anak-anak lainnya. Contoh kasus yang tidak patut diikuti.

"Ya sudah pak Dirga, saya harus kembali ke sekolah. Ada beberapa orang tua murid yang harus saya temui," pak Guntur akhirnya pamit undur diri. "Ingrid, jangan banyak tingkah," ucap pak Guntur yang aslinya mendoakan kondisi Ingrid agar cepat pulih.

Dirga tersenyum kepada pak Guntur, "Terima kasih pak Guntur, sudah bersedia dan repot-repot mengantarkan saya."

"Bagaimanapun juga, saya ini guru favorit Ingrid," jawab pak Guntur dengan kepercayaan diri setinggi langit. Padahal memang betul apa yang dikatakannya.

Seusai kepergian pak Guntur, Dirga mengambil kursi untuk duduk di samping bangsal Ingrid. Ia memerhatikan sekujur tubuh Ingrid yang penuh dengan lebam dan luka. Dirga ikut meringis sambil membayangkan bagaimana reka ulang adegan kecelakaan yang dialami Ingrid.

"Tadi saya padahal lagi ada presentasi ke orang tua murid, tapi melihat pak Guntur yang langsung berlari menghampiri saya membuat saya langsung panik dan nggak bisa mikir apa-apa lagi," Dirga tiba-tiba bercerita.

Ingrid tertawa, "Bapak lebay, deh."

Ingrid kemudian menatap langit-langit rumah sakit, bayangan rentetan kecelakaannya tadi masih teringat dengan jelas walaupun ada bagian yang samar. "Saya kira tadi saya bakal meninggal," ujar Ingrid.

"Jangan meninggal dulu," sela Dirga. "Kamu belum dapet ijazah SMA."

Suasana hening kemudian menyelimuti Ingrid dan Dirga. Ingrid yang masih merasakan sakit yang luar biasa pada tubuhnya sesekali meringis karena perih. Sedangkan Dirga yang berniat membantu menenangkan Ingrid justru tidak bisa, karena Ingrid yang sedang dipenuhi luka menerapkan prinsip 'Senggol, Bacok' bagi sesiapapun yang menyentuhnya.

Sambil memerhatikan Ingrid, banyak pertanyaan mulai timbul di benak Dirga. Dirga yang sedang bingung merangkai pertanyaan tiba-tiba diinterupsi dengan suara ponselnya. Ada pesan dari pak Guntur masuk.

Pak Guntur SMA Wardana
Siang, pak Dirga.
Tadi sebelum saya pulang sempat mengecek ke bagian administrasi Ingrid, susternya berkata bahwa Ingrid mengaku sebagai yatim piatu.
Biaya rumah sakit sudah ditanggung oleh asuransi. Sekian, trims.

Dirga Dewata
Siang, pak Guntur.
Terima kasih banyak atas infonya.

"Ingrid," panggil Dirga.

Ingrid menatap ke arah Dirga tanpa menggerakan bagian tubuhnya karena masih terasa sangat sakit.

"Kalau kamu sudah diizinkan pulang dari rumah sakit nanti, kamu mau tinggal dulu sementara di rumah saya?"

Dealing with My Principal  (End✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang