Sudah jam istirahat. Dengan gerakan cepat Ingrid mengeluarkan ponselnya sambil membuka aplikasi delivery makanan. Semua makanan terlihat menggiurkan, tapi Ingrid memilih penjual makanan yang terdekat dan segera menekan tombol pesan dan bayar.
Sekitar sepuluh menit kemudian, seorang satpam mengantarkan pesanan makanan ke ruang tata usaha. Dengan senang hati Ingrid menerimanya. Tak lupa sebelum memasuki ruangan Dirga, Ingrid membagi satu porsi pesanannya kepada Astrid. Setelah itu ia kembali masuk ke ruangan Dirga.
Perut Ingrid yang sudah berteriak, membuat ia tak sabar untuk segera menyantap makanannya. Tepat ketika Ingrid memasukkan suapan pertamanya ke mulut, Dirga datang sambil membawa makanan dari kantin.
"Makan, Pak," tawar Ingrid kepada Dirga.
Dirga mengangguk kemudian mengambil posisi di kursinya. Sambil membuka makanan miliknya, ia memerhatikan kantong plastik yang berada di atas meja Ingrid.
"Kamu dapet itu dari mana?" tanya Dirga sambil memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya.
"Ini?" tanya Ingrid sambil menunjuk makanannya dan dibalas anggukan oleh Dirga. "Beli lah!" jawab Ingrid ngegas.
Dirga menelan makanan di mulutnya, "Kenapa nggak beli di kantin?" tanyanya.
Ingrid mengunyah makanannya sambil berpikir. Alasan apa yang membuat ia enggan untuk membeli makanan di kantin.
Ingrid minum terlebih dahulu sebelum menjawab, "Mahal, porsinya sedikit, nggak enak pula," jawabnya singkat, padat, dan jelas.
"Seorang Ingrid Fadelia bisa memikirkan mahal dan murah?" cibir Dirga sambil menyendokkan makanannya.
Ingrid menatap Dirga dengan tatapan horor, "Saya nggak masalah sama harga, tapi kalau rasanya nggak enak ngapain saya beli? Not worth the cost tau, Pak," jawab Ingrid sok paling benar. Padahal memang benar.
Dirga memilih untuk tutup mulut sembari menikmati makanannya. Tidak akan ada habisnya berdebat dengan Ingrid.
"Harga satu porsi nasi goreng di kantin itu setara dua porsi makanan yang saya beli, rasanya nggak mengecewakan pula," kini Ingrid menjelaskan.
"Satu porsinya lagi, mana?" tanya Dirga.
Ingrid menjawab dengan santainya, "Saya kasih ke bu Astrid."
Dirga kembali bertanya, "Kenapa nggak dikasih ke saya?"
Ingrid mengendikan bahu, "Saya lebih sayang ke bu Astrid, kok."
Dirga kali ini sampai berdecak kesal. Namun dirinya tak bisa berhenti untuk bertanya pada Ingrid. Ia senang mendengar ocehan Ingrid.
"Padahal kalau kamu beli di kantin, sama saja kamu membantu perekonomian pedagang kecil lho, Grid," Dirga memancing Ingrid untuk berdebat.
Tentu saja kailnya ditangkap sempurna oleh Ingrid.
"Makanan yang saya beli juga dari pedagang UMKM kok, Pak. Tenang aja," balas Ingrid santai.
Dirga mendesis pelan dan dibalas kekehan dari Ingrid. Lucu saja melihat ekspresi Dirga yang sangat tidak mau kalah dari Ingrid. Sedang Ingrid dengan mudahnya menang dari Dirga.
Obrolan ringan Ingrid dan Dirga terpaksa terhenti ketika pak Guntur datang dan memasuki ruangan Dirga.
"Wah, maaf sekali mengganggu waktu makan siangnya, pak Dirga," ucap pak Guntur basa-basi.
Ingrid mendecih-sayangnya terlalu keras-membuat Dirga dan pak Guntur menatap ke arahnya. "Pak Guntur nggak mau minta maaf ke saya juga?" tanya Ingrid secara gamblang.
"Hilih, palingan kamu yang ganggu pak Dirga dari pagi tadi," jawab pak Guntur dengan tatapan meremehkan.
Walau sering diomeli pak Guntur, Ingrid sama sekali tidak bisa membenci pak Guntur. Karena selama ini pak Guntur sering memberi nasihat kepada Ingrid ketika mereka sedang berbincang berdua. Apalagi mengingat Ingrid langganan masuk ke ruang BK, akhirnya frekuensi Ingrid untuk bertemu dengan pak Guntur menjadi lumayan sering.
Istilah kerennya, love hate relationship.
Aw, I love you, pak Gun-gun❣️
KAMU SEDANG MEMBACA
Dealing with My Principal (End✅)
Ficção AdolescenteTahun ajaran baru, SMA Wardana memiliki kepala sekolah baru-beliau masih sangat muda! Panggil saja Pak Dirga. Usut punya usut, ternyata Pak Dirga anak dari kepala sekolah sebelumnya. Menjadi kepala sekolah muda bukan hal yang mudah, apalagi jika sud...