Upacara hari ini sukses, walau ada sedikit hambatan. Seusai upacara, Dirga segera menghampiri pak Guntur yang tengah bercengkrama asyik dengan guru lain sambil menggulung kabel jack audio.
"Pak Guntur, boleh saya bicara sebentar?" tanya Dirga sambil menepuk bahu pak Guntur.
"Ah iya, Pak Dirga. Silakan, silakan."
Dirga tersenyum, "Kita sambil keliling ya, Pak."
Dirga dan pak Guntur mulai berjalan mengitari lahan sekolah yang luas sambil membahas banyak hal mengenai SMA Wardana, terutama di bidang kesiswaan. Maklum saja, Dirga selama ini tidak pernah terhubung dengan SMA Wardana, tapi kini ia malah ditunjuk untuk mengemban tugas sebagai kepala sekolah di SMA Wardana. Hal ini pula yang menjadi pertanyaan bagi banyak murid.
"Pak Guntur, kalau boleh, apakah saya bisa meminta daftar anak-anak dengan catatan khusus yang sering Bapak tangani?" tanya Dirga sambil melihat-lihat suasana sekolah.
Pak Guntur berdeham kemudian menjawab, "Kalau siswa dengan catatan khusus ya hanya satu itu saja, Pak. Seharusnya pak Dirga juga tadi sudah lihat sendiri, Ingrid Fadelia."
"Apakah pak Guntur punya rekap catatan kasusnya Ingrid? Supaya bisa saya pelajari, karena rasanya saya akan sering berhubungan dengan murid bermasalah seperti itu, Pak." ujar Dirga yang dijawab persetujuan oleh Pak Guntur.
Tepat ketika sampai di depan pintu ruang kepala sekolah, Dirga berusaha membuka pintu namun terkunci.
"Anu, pak Dirga, mungkin masih terkunci. Bisa masuk lewat ruang tata usaha saja, Pak. Ada pintu penghubungnya," jelas Pak Guntur yang kemudian memilih untuk berpamitan karena sebentar lagi ia ada jadwal mengajar konseling.
Ketika Dirga memasuki ruang tata usaha, ia melihat pemandangan yang sedikit mengejutkan baginya. Ingrid Fadelia tertidur dengan pulasnya di sofa tata usaha. Astrid yang melihat Dirga masuk ruang tata usaha sontak terkejut dan menjeda pekerjaannya.
"Pak Dirga, ah! Maaf saya lupa kalau ruangannya masih terkunci," ucap Astrid seraya mencari-cari di sebuah toples berisi kunci.
Dirga tersenyum, "Iya, Bu Astrid. Tapi untung tadi Pak Guntur bilang kalau di sini ada pintu penghubung ke ruangan saya."
Dirga kemudian melirik ke arah Ingrid yang masih tak bergeming. Ingrid tertidur pulas seperti orang mati.
"Ingrid itu memang biasa di sini, Pak," ujar Astrid kemudian kembali duduk dan melanjutkan pekerjaannya.
"Kenapa?" tanya Dirga.
Astrid tersenyum, "Dari dulu kalau dia kabur pasti selalu ke sini. Katanya nyaman. Dia juga sering bantu-bantu saya kalau dia lihat saya lagi sibuk."
"Banyak orang yang lalu-lalang ke ruangan ini, Bu Astrid?" tanya Dirga dan dijawab anggukan oleh Astrid.
Dengan cepat, Dirga mengangkat Ingrid dan membawanya ke dalam ruangannya.
"Malu nanti kalo dia diliat banyak orang lagi tidur di sini," ucap Dirga sebelum memasuki ruangannya.
•••
"Saya kenapa di sini, deh?" Ingrid yang terbangun dari tidur nyenyaknya melihat ke sekelilingnya yang tidak tampak seperti ruang tata usaha.
Ia mengucek matanya sampai matanya menangkap jelas pemandangan Dirga yang sedang berkutat di balik meja kerjanya.
"Tadi saya pindahin kamu, malu kalo diliat banyak orang yang keluar masuk di sebelah," ucap Dirga tanpa melepaskan pandangan dari pekerjaannya.
Ingrid mendengus, "Lebih malu lagi kalo saya ketauan tidur di ruang kepala sekolah."
Ingrid sontak berdiri dan mengambil tasnya.
"Mau ke mana kamu, Ingrid?" tanya Dirga yang kini memerhatikan ke arah Ingrid.
"Pulang," jawab Ingrid santai dan singkat.
"Naik apa?" tanya Dirga lagi.
Nada Ingrid meninggi, "Motor, lah? Apalagi? Pak-" kalimat ketusnya terhenti kala ia tak bisa mengingat siapa nama kepala sekolahnya.
"Dirga."
Ingrid melanjutkan, "Nah, pak Dirga juga harusnya tadi udah liat kalo saya bawa motor."
Dirga kemudian menunjukkan kunci yang ia gantungkan di antara jari-jarinya. "Maksudmu motor ini?" tanyanya sambil tersenyum mengejek.
Mata Ingrid membelalak. Ia spontan meraba-raba saku kemeja dan roknya. Tidak ada kunci. Ia kemudian merogoh-rogoh saku tasnya. Hasilnya tetap saja nihil.
"Bapak mencuri ya?!" tanya Ingrid dengan nada tinggi.
"Saya nggak mencuri," ucap Dirga dengan nada tegas. "Saya menyita barang ini karena melanggar aturan sekolah," lanjutnya.
Ingrid mendengus kesal. Ia kemudian menatap wajah Dirga lamat-lamat. Memperhatikan setiap ceruk dan lekuk wajahnya, lalu turun memerhatikan postur tubuh Dirga. Sangat bugar dan atletis.
Ada satu kata yang menurut Ingrid lebih tepat untuk menggambarkan rupa Dirga, seksi.
"Terserah, saya tetep bisa pulang tanpa motor, kok," ujar Ingrid songong.
Ingrid kemudian berjalan menuju pintu di samping Dirga yang menghubungkan ruangannya dengan ruang tata usaha. Sebelum melewati pintu, Ingrid berhenti sejenak. "Pak Dirga pasti anak satu-satunya pak Abraham, ya? Nggak nyangka jaman sekarang masih ada dinasti di sekolahan," ucap Ingrid yang diakhiri dengan senyum mengejek seraya meninggalkan ruang kepala sekolah.
Dirga terkejut mendengar ucapan Ingrid yang ternyata benar adanya. Dirga memang putra pak Abraham, kepala sekolah sebelumnya. Tapi tak ada satu orang pun di sekolah ini yang tahu kalau Dirga adalah anak pak Abraham.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dealing with My Principal (End✅)
Fiksi RemajaTahun ajaran baru, SMA Wardana memiliki kepala sekolah baru-beliau masih sangat muda! Panggil saja Pak Dirga. Usut punya usut, ternyata Pak Dirga anak dari kepala sekolah sebelumnya. Menjadi kepala sekolah muda bukan hal yang mudah, apalagi jika sud...