Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh Ingrid. Parents and Teacher Conference yang diadakan di sekolah akan mempertemukan Ingrid dengan orang tuanya. Kemarin Mama Ingrid memberi kabar bahwa ia akan langsung datang ke sekolah setibanya di bandara. Mama Ingrid meminta Ingrid untuk datang terlebih dahulu saja ke sekolah.
Dengan raut bahagia Ingrid turun dari motor yang sengaja ia bawa hari ini, lalu menunggu Mama Ingrid untuk datang. Ingrid memilih untuk menunggu di bangku yang disediakan di koridor. Seharusnya setengah jam lagi orang yang Ingrid tunggu-tunggu akan tiba. Namun entah bagaimana belum ada kabar terbaru sejak kemarin.
"Ingrid!" sapa Septa yang datang bersama kedua orang tuanya.
"Hai! Halo om, halo tante," sapa Ingrid sopan kepada kedua orang tua Septa.
Ibu Septa tersenyum hangat sambil mengusap kepala Ingrid, "Apa kabar, Ingrid?" tanyanya ramah.
"Baik, tante," jawab Ingrid sambil tersenyum.
"Ingrid datang sama siapa, nak?" kali ini Ayah Septa bertanya.
Ingrid tetap tersenyum, "Ah, ini lagi nunggu Mama, om. Palingan setengah jam lagi sampe, dia langsung dari bandara soalnya," jelas Ingrid.
"Ingrid nggak perlu diwakilin sama om dan tante?" tawar Ibu Septa dan dibalas penolakan halus oleh Ingrid. Ia yakin Mamanya pasti akan datang.
Setelah itu keluarga Septa pamit untuk masuk ke sekolah terlebih dahulu. Ingrid kembali duduk sambil menunggu dengan sabar. Sambil mengharapkan ada taksi bandara yang datang ke area parkir, Ingrid juga memperhatikan murid-murid lain yang datang bersama orang tuanya. Pemandangan yang membuat iri.
Sudah berlalu setengah jam, Mama Ingrid tak kunjung tiba. Keluarga Septa pun sudah selesai dan berpamitan ke Ingrid untuk pulang. Ingrid juga sempat bertemu dengan Deo dan ayahnya. Semua anak SMA Wardana datang bersama orang tuanya, terkecuali Ingrid.
Sambil tetap menunggu, Ingrid mengeluarkan sebuah roti yang ia bawa di dalam tasnya. Dengan pelan-pelan ia menikmati roti tersebut sambil berharap bahwa Mamanya akan tiba saat rotinya habis. Ingrid yang mengunyah dengan tatapan kosong, terkejut ketika merasakan benda dingin tertempel di pipinya.
Dirga pelakunya. Hari ini ia mengenakan setelah jas dan dasi guru SMA Wardana yang terlihat ekslusif. Sambil tertawa Dirga mengambil posisi untuk duduk di sebelah Ingrid.
"Jangan lupa minum," ucapnya seraya meletakkan minuman dingin di antara Ingrid dan dirinya.
Ingrid tetap diam sambil mengunyah rotinya.
"Nungguin siapa, Grid?" tanya Dirga sambil ikut menatap area parkir.
"Mama," jawab Ingrid dengan suara tercekat. Aneh tiba-tiba ia merasa ada yang mengganjal di tenggorokannya.
Ingrid yang tidak ingin terlihat menyedihkan langsung mengalihkan topik, "Pak Dirga hari ini ..." kalimat Ingrid terhenti sambil memerhatikan Dirga yang duduk di sampingnya. "Nggak jadi ah, males," sambung Ingrid sambil kembali melahap roti miliknya.
"Ih! Nggak jelas! Cepetan bilang saya hari ini kenapa?" tanya Dirga tak sabar dengan suara yang meninggi.
Ingrid mengulum senyum tipis, "Nggak."
Dirga tambah penasaran dengan ekspresi Ingrid. Apakah ada yang salah dengan pakaiannya hari ini?
Dirga kemudian mencium-cium ketiaknya, tidak bau. Kemudian merapikan jas dan dasinya, sudah rapi. Mengeluarkan ponselnya untuk bercermin, tidak ada yang salah dengan wajahnya. Lalu apa yang membuat Ingrid sampai tersenyum seperti itu?
Ingrid yang melihat tingkah Dirga justru malah terkekeh. Ingrid kembali memerhatikan Dirga dari ujung rambut sampai ujung kaki, "Hari ini pak Dirga," suaranya kembali tercekat membuat Dirga frustrasi karena penasaran. "Bapak ganteng," ucap Ingrid cepat lalu terbatuk-batuk.
Dirga yang mendengar pujian Ingrid langsung ikut terbatuk. Sambil membuang muka, Dirga sudah sangat yakin kalau wajahnya saat ini sudah sangat merah.
Aneh, padahal setiap orang yang bertemu dengan Dirga dan memuji ketampanannya tidak membuat Dirga merasa istimewa. Namun pujian Ingrid malah membuat perutnya dipenuhi kupu-kupu yang beterbangan.
"Ing-" suara Dirga yang memanggil Ingrid terputus dengan suara panggilan masuk di ponsel Ingrid.
"Ingrid, maaf pas transit di Dubai, Mama ketemu klien Mama. Sekarang Mama masih di Dubai-"
Tut.
Ingrid tak sanggup mendengarkan alasan sampai akhir. Ingrid sudah sangat kecewa lantaran Mamanya bisa lebih mengutamakan kliennya dibandingkan anaknya sendiri.
Dirga yang tak sengaja mendengar suara dari ujung panggilan tadi, refleks menarik tangan Ingrid yang sudah bersiap untuk pergi. Dengan sekali hentakan, Ingrid berhasil menepis tangan Dirga yang berusaha menahannya.
Ingrid berlari menuju motornya dan langsung membawanya pergi dari sekolah. Seharusnya Mamanya tidak usah mengiyakan janji itu. Tidak, seharusnya Ingrid jangan terlalu berharap. Karena rasa kecewanya sangat memilukan.
Air mata yang sudah menumpuk di pelupuk mata Ingrid tak kunjung menetes. Pandangannya kabur sampai tidak melihat ada mobil di depannya yang berhenti mendadak.
Kecelakaan tak bisa terhindarkan. Motor Ingrid yang melaju dengan sangat kencang menabrak mobil di depannya membuat Ingrid terpental dari motornya. Dengan perasaan pasrah dan berharap bahwa mati itu tidak menyakitkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dealing with My Principal (End✅)
Teen FictionTahun ajaran baru, SMA Wardana memiliki kepala sekolah baru-beliau masih sangat muda! Panggil saja Pak Dirga. Usut punya usut, ternyata Pak Dirga anak dari kepala sekolah sebelumnya. Menjadi kepala sekolah muda bukan hal yang mudah, apalagi jika sud...