Siang ini Ingrid sedang berada di rumah sakit. Hari ini jadwalnya untuk melakukan terapi pasca operasi. Dengan diantar supir Dirga, Ingrid berhasil sampai di rumah sakit tanpa cacat cela.
Terapinya yang berdurasi dua jam itu sukses untuk yang keempat kalinya. Saat ini Ingrid sedang mengurus proses administrasi di meja depan.
"Ingrid, jangan lupa ya, tangannya sudah boleh dilatih untuk bergerak, tapi jangan sampai berlebihan," peringat salah seorang perawat yang selalu menemani terapi Ingrid sejak sesi pertama.
"Siaaap, sus Jo," jawab Ingrid akrab.
Tak berselang lama, seseorang menepuk bahu Ingrid.
"Ingrid? Lo ngapain di sini?"
Suara familiar milik Fandy membuat Ingrid terkejut. "Eh, kayaknya harusnya gua deh yang nanya gitu ke lo?" tanya Ingrid saat melihat Fandy yang mengenakan pakaian serba hitam. Seperti ada yang meninggal.
Fandy menjawab sambil menunjuk asal ke arah belakangnya, "Gua lagi temenin adek sepupu gua dateng ke dokter estetika kulit."
"Adek sepupu lo kena penyakit kulit?"
Fandy menggeleng. "Bukan. Dia habis dihajar sama temennya, ada-ada aja emang si Friska," jawab Fandy yang otomatis membuat mata Ingrid membelalak. "Eh iya, lo kenal si Friska nggak? Harusnya dia satu sekolah sama lo," lanjut Fandy.
Oh, pantas saja ia mengenakan pakaian serba hitam. Sedang mengantar si Jahat Friska menuju wajahnya yang meninggal karena ulah Ingrid rupanya.
Ingrid terdiam sebentar sambil memilih kata-kata yang ingin diucapkan. "Lo tau alasan gua di sini?" tanya Ingrid.
Fandy menggelengkan kepalanya.
"Gua terapi karena habis ngehajar Friska. Gua yang bikin Friska babak belur," aku Ingrid pada Fandy.
"Mendingan kita ngobrolin ini di tempat lain aja deh," ajak Fandy dengan nada tak siap.
•••
Di sinilah Ingrid dan Fandy sekarang. Kafetaria rumah sakit dengan dinding kaca yang menampilkan pemandangan hijau taman rumah sakit.
"Yah gua tau sih omongan Friska itu jahat banget," komentar Fandy setelah mendengar kronologi kejadian Ingrid, "Tapi lo keren juga, Grid. Tangan lagi nggak beres begitu bisa bikin sodara gua diskors sampe dateng ke dokter estetika," lanjut Fandy memuji Ingrid.
"Ya gitu, Fan. Lo tau sendiri gua paling nggak terima dikatain begitu. Apalagi sampe dia bawa-bawa bonyok gua," jelas Ingrid pada Fandy.
Fandy kemudian memerhatikan perempuan yang sempat menjadi tambatan hatinya, sampai ia bertemu dengan Dirga. Tanpa meminta kejelasan pada Ingrid, Fandy langsung menyimpulkan bahwa ada sesuatu yang spesial antara Dirga dan Ingrid.
"Grid, gua boleh nanya nggak sih? Tapi kalo menurut lo ini terlalu sensitif juga nggak apa-apa kalo lo nggak mau jawab," tanya Fandy.
Ingrid yang sedang menyesap jus alpukatnya mengangguk.
"Lo pernah nggak sih protes ke bonyok lo karena jarang pulang?"
Ingrid tertawa miris, "Fan, sebagai manusia kita itu nggak boleh serakah. Ada anak yang dibesarkan dengan uang, ada yang dibesarkan dengan kasih sayang. Gua dibesarkan dengan uang, gua nggak boleh serakah dengan meminta kasih sayang bokap nyokap."
Fandy menatap sendu ke arah Ingrid. Merasa sangat iba dengan temannya. Padahal Ingrid sudah sangat terbiasa dengan apa yang sudah digariskan untuk dirinya. Mengeluh hanya akan membuatnya tambah lelah.
Tiba-tiba ponsel Fandy berdering. Fandy melihat nama Friska tertera jelas di layarnya. Dengan malas ia menjawab panggilannya.
"Ya, Fris?"
"KAKAK DI MANA?!" suara pekikan Friska terdengar sangat jelas bahkan sampai ke telinga Ingrid. Fandy yang tadinya menempelkan ponselnya di dekat telinga, langsung menjauhkannya sambil mengelus dada karena terkejut.
"Kafetaria," jawab Fandy tetap berusaha cool.
Tut.
Panggilan langsung di matikan oleh Friska. Fandy hanya bisa banyak-banyak bersabar menghadapi sepupunya yang satu ini.
"Gua sebagai sepupunya aja heran, kok bisa ada manusia kayak Friska," komentar Fandy membuat Ingrid tertawa.
Ingrid kemudian bertanya, "Lo gak heran ke gua? Gua sama Friska 'kan sama-sama ajaib."
"Lo masih mendingan dibanding Friska, pusing kepala gua kalo ngurus Friska."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dealing with My Principal (End✅)
Novela JuvenilTahun ajaran baru, SMA Wardana memiliki kepala sekolah baru-beliau masih sangat muda! Panggil saja Pak Dirga. Usut punya usut, ternyata Pak Dirga anak dari kepala sekolah sebelumnya. Menjadi kepala sekolah muda bukan hal yang mudah, apalagi jika sud...