Tujuh Belas - Tak Terduga

178 11 0
                                    

Friska meninggalkan ruangan Dirga terlebih dahulu. Ingrid dan Friska sejak dua jam yang lalu diomeli habis-habisan oleh Dirga dan keputusan akhir adalah Friska dijatuhi hukuman skors satu minggu karena menyebarkan fitnah tentang kepala sekolah. Sedang Ingrid diskors dua minggu karena berhasil membuat kondisi wajah Friska lebih miris daripada wajahnya sendiri yang babak belur karena kecelakaan.

Sepeninggal Friska, kini hanya ada Ingrid yang masih berdiri berhadapan dengan Dirga sambil menunduk. Tangan Ingrid sedari tadi bergetar, lantaran selama menghajar Friska, ia tidak memedulikan rasa nyeri yang menjalar di tangannya. Baru lah setelah ia dilerai, rasa sakit yang luar biasa meliputi tangannya. Terutama di bagian buku-buku jari dan sikunya.

"Ingrid," panggil Dirga sambil meraih tangan Ingrid yang sudah bergetar. "Ikuti saya," ajak Dirga sambil menggiring Ingrid menuju sofa ruangannya.

Dirga kemudian duduk dan menepuk tempat kosong di sebelahnya. Ia meminta Ingrid untuk duduk di sampingnya. Dengan masih menunduk Ingrid mengikuti permintaan Dirga.

Dirga melihat mata Ingrid sedari tadi sudah berkaca-kaca. Akhirnya Dirga memilih untuk merengkuh Ingrid. Dengan sekali pelukan, Ingrid berhasil menangis dalam dekapan Dirga.

Punggung Ingrid bergetar hebat namun tak ada suara tangisan yang ia keluarkan. Sedang Dirga bisa merasakan kalau kemeja yang ia kenakan sudah mulai basah.

"Friska jahat, Pak," Ingrid bersuara di sela-sela isak tangisnya.

Dirga tetap menepuk-nepuk punggung Ingrid untuk menghiburnya.

"Tapi pak Dirga lebih jahat," sambung Ingrid membuat Dirga spontan mengerutkan dahi sambil melepaskan pelukannya.

"Saya kenapa?" tanya Dirga bingung.

Ingrid kini menangis dengan lebih keras, "Pa-pak Dirga soalnya ta-tadi cuma neriakin nama saya di depan semua murid," jawab Ingrid dengan napas yang tersengal-sengal membuat Dirga merasa kasihan namun juga tergelitik.

"Saya bukan jahat, Ingrid," elak Dirga, "Saya cuma nggak tau nama anak itu siapa."

Tangisan Ingrid seketika terhenti. Ingrid coba mengingat ulang kejadiannya sejak tadi. Ia baru tersadar kalau Dirga sama sekali tidak memanggil Friska dengan namanya, ia hanya memanggilnya 'Kamu'. Ingrid tiba-tiba terkekeh.

Entah bagaimana Ingrid yang cengeng tadi bisa hilang dan lenyap begitu saja.

Dirga kemudian menggenggam kedua tangan Ingrid, "Selama dua minggu diskors, saya minta tolong ke kamu untuk ikut perawatan dari rumah sakit ya, Grid? Kamu harus pulih total."

Ingrid mengangguk patuh, "Saya juga pengen cepet sembuh, Pak. Rasanya percuma punya dua tangan tapi nggak bisa dipakai secara normal."

Dirga tersenyum puas kemudian mengusap kepala Ingrid.

•••

Dirga dan Ingrid memutuskan untuk pulang sore, menunggu semua murid sudah pulang. Dari halaman parkir sekolah, mobil Dirga melaju menuju sebuah supermarket. Dirga dan Ingrid akan berbelanja bahan masakan yang akan dimasak Dirga nanti.

Dirga yang sudah mengganti pakaiannya sebelum pulang tadi, kini mengenakan sweatpants panjang dan longsleeve berwarna viridian. Sedang Ingrid hanya mengganti kemeja sekolahnya dengan kaos hitam sambil tetap mengenakan rok identitas SMA Wardana.

Ingrid dan Dirga berjalan mengitari setiap rak. Mengambil telur, susu, minyak, berbagai macam saus, lalu berjalan menuju konter daging. Mereka membeli persediaan daging dan ikan, serta beberapa makanan cepat saji. Tidak lupa membeli makanan ringan dan kue-kue kering kesukaan Dirga. Setelah semua yang dibutuhkan sudah diambil, kini giliran mereka mengantre untuk membayar.

Di sela-sela antrean yang panjang, seseorang mengenali Ingrid.

"Ingrid?" panggilnya membuat sang empunya nama terkejut.

"Fandy?"

Fandy tidak menyangka dengan pemandangan di depan matanya. Sebelumnya Fandy memang sudah mendengar kabar kecelakaan Ingrid dari asisten rumah tangga yang berpapasan dengan Fandy. Namun Fandy tidak menyangka bekas luka akibat kecelakaan Ingrid begitu parah.

"Lo selama ini di mana?" tanya Fandy.

Ingrid terdiam tak ingin menjawab.

"Kemaren waktu gua mampir ke rumah lo, gua ketemu nyokap lo," tambah Fandy membuat Ingrid semakin tidak ingin pulang ke rumah.

Entah mengapa membayangkan pulang ke rumahnya sendiri kini membuat Ingrid mual dan bergidik ngeri.

Fandy kini menatap seseorang yang berdiri di samping Ingrid. Fandy mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan, "Kenalin gua Fandy, temen Ingrid."

Dirga membalas jabatan tangan Fandy, "Dirga."

"Kuliah di mana, Bang?" lanjut Fandy basa-basi sok akrab.

Dirga terbatuk kecil, "Kerja."

"Kerja di mana, Bang?"

"SMA Wardana."

Dealing with My Principal  (End✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang