Delapan Belas - Senggang

180 14 0
                                    

Perut Ingrid dan Dirga kini sudah penuh. Masakan sup ikan buatan Dirga sangat menggugah selera dan berhasil membuat Ingrid tambah sampai tiga porsi.

Kini keduanya sedang bersantai di ruang tamu. Dirga yang berselonjor di sofa, sedang Ingrid duduk lesehan di atas karpet sambil menyenderkan kepalanya di sofa. Ingrid yang sedang fokus menonton tv sesekali terganggu lantaran Dirga memainkan rambutnya sambil memintal-mintal kecil.

"Ingrid," panggil Dirga dan hanya dijawab dehaman oleh Ingrid. "Kamu mau sampai selamanya tinggal di sini?" tanya Dirga out of the blue.

Ingrid mengendikan bahu sambil tetap menghadap ke arah tv, "Saya masih belum siap untuk pulang, Pak."

"Rasanya tinggal di rumah sebesar itu sendirian gimana, Grid?" tanya Dirga lagi.

"Ya begitu," jawab Ingrid seadanya, "Sepi."

Dirga kini memainkan jari telunjuknya di pusaran rambut Ingrid. "Kamu mau punya peliharaan?" tanya Dirga sambil tetap memainkan rambut Ingrid.

Ingrid akhirnya menjauhkan kepalanya, "Duh! Bapak ngapain sih!" gerutu Ingrid sambil menggeser posisi duduknya.

Dirga terkekeh, "Seru tau mainin rambutmu, halus."

Dirga akhirnya bangkit dari posisi selonjornya. Ia duduk dengan menyilangkan kaki, kemudian menepuk tempat kosong di sampingnya. "Sini, Grid. Kita main kepang-kepangan aja," ajak Dirga sambil tersenyum.

Ingrid ikut manut saja dengan ucapan Dirga. Posisi duduknya kini membelakangi Dirga. Jari-jemari Dirga mulai bergerak halus mengambil helai-helai rambut Ingrid untuk dikepang. Dengan telaten, Dirga mengepang rambut Ingrid yang tebal.

"Bapak beneran anak pak Abraham, 'kan?" tanya Ingrid mengisi kekosongan.

Dirga terkekeh pelan, "Kok kamu tau? Padahal saya sama sekali nggak mirip sama beliau."

Ingrid terdiam sebentar sambil berpikir. Sejak pertama kali dirinya melihat Dirga, Ingrid merasa seperti melihat pak Abraham versi muda. Aneh saja, firasatnya langsung tahu bahwa Dirga adalah anak pak Abraham.

Sebelum-sebelumnya Ingrid hanya sesekali menguping saat ia masih di ruang tata usaha. Terkadang Ingrid mendengar suara pak Abraham yang sedang dalam panggilan sambil membicarakan anak semata wayangnya.

"Tekstur rambutnya mirip," jawab Ingrid.

"Tolong deh, ayah saya itu udah ubanan. Bisa-bisanya kamu ngomongin tekstur rambut," sahut Dirga sambil menjitak pelan kepala Ingrid.

Ingrid tersentak, "Aduh! Nggak sembuh-sembuh nanti," ucapnya sambil berusaha mengusap kepala bagian belakangnya namun langsung ditepis oleh Dirga.

"Berantakan nanti kepangannya!" peringat Dirga.

Ingrid hanya bersedekap kesal. Dirga yang melihat gestur tubuh Ingrid dari belakang hanya tertawa.

Dirga kemudian mulai bercerita, "Saya itu dulu pengen banget punya adik perempuan. Karena saya anak tunggal, akhirnya saya selalu membayangkan gimana rasanya punya saudara kandung.

Sebelum ayah-pak Abraham-menjadi kepala sekolah SMA Wardana, beliau sudah menjabat unit SD. Saya dari dulu bukan warga Wardana, sekolah pun di sekolah Jepang. Tapi kalau suatu hari saya lagi pulang cepat, saya akan datang ke tempat kerja ayah."

"Saya nggak pernah ingat kalau pak Abraham pernah jadi kepala sekolah SD," respon Ingrid sebagai warga setia Wardana.

"Mungkin kamu masih TK," balas Dirga. Dirga kemudian melanjutkan, "Kalau lagi mampir ke Wardana, saya pasti akan main ke unit TK. Ada satu anak cewek lucu banget, dia nempel terus sama saya. Kadang saya kasih dia roti, kadang saya main kepang-kepangan begini sama dia. Terlalu menggemaskan sampai saya pengen bawa dia pulang."

"Waduh, penculikan berencana," sela Ingrid.

Dirga hanya terkekeh sambil menggelengkan kepala. Kemudian ia melanjutkan ceritanya, "Kamu tau, Grid? Waktu saya beresin baju di kamarmu, saya lihat fotomu waktu masih TK."

Ingrid langsung menoleh ke belakang untuk menatap Dirga, otomatis membuat kepangan hancur. "Jangan bilang saya adalah anak cewek di cerita bapak?" tanya Ingrid dengan tatapan horor.

Dirga hanya terdiam tak menjawab.

"Berarti pak Dirga itu si kakak berseragam biru?" Ingrid menebak dengan sangat tepat. "Sebentar saya masih loading," ucap Ingrid sambil mengangkat tangannya.

Dirga kini tersenyam-senyum sambil menunggu otak Ingrid mencerna ingatannya.

"Tapi waktu upacara pak Dirga bilang usianya seperempat abad, berarti 25 tahun kan? Sedangkan usia saya sekarang-" ucapan Ingrid terhenti lantaran tidak bisa mengingat usianya sendiri.

Dirga tersenyum, "Saya berbohong. Aslinya usia saya 23 tahun."

Dealing with My Principal  (End✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang