Dua Puluh Delapan - Api Unggun

150 9 0
                                    

Kini seluruh anak yang mengikuti liburan perpisahan sedang berkumpul di pantai. Dengan duduk sambil melingkari sebuah api unggun, anak-anak masuk ke sebuah sesi kejujuran. Secara berurutan mengikuti arah jarum jam, setiap anak harus berbicara tentang uneg-uneg terdalam mereka selama di SMA Wardana. Entah itu terhadap sekolah, guru, atau bahkan teman seangkatan. Semua perasaan terpendam harus dibereskan malam ini sebelum mereka akan lulus dan berpisah.

Setiap anak memiliki respon yang berbeda, ada yang malas mengikuti sesi menye-menye seperti ini, ada yang antusias karena penasaran apa yang dipikirkan temannya, ada yang terlalu terbawa perasaaan.

"Kalo dari gua sih gak banyak ya, cuma mau bilang ke Ingrid aja, tiga tahun kita temenan deket tapi ternyata masih banyak yang gua gak tau tentang lo. Gua cuma merasa belum bisa jadi sahabat yang baik," ucap Septa saat gilirannya tiba.

Semua anak kini menatap ke arah Ingrid karena setuju dengan ucapan Septa. Karena memang bisa dibilang, kehidupan di luar sekolah Ingrid sangatlah tertutup rapi bagi murid lain. Mereka hanya sebatas tahu kalau Ingrid bukan anak yang 'benar'. Tidak ada yang tahu masalah pelik apa yang Ingrid sudah lalui.

Selang beberapa anak, kini giliran waktunya Friska untuk berbicara. Ingrid sudah mendelik tajam ke arah Friska sambil mendesah pelan.

"SMA Wardana, ya intinya gua seneng lah bisa ketemu banyak temen-temen yang baik dan peduli sama gua. Walau yang rese juga ada sih," aku Friska sambil melirik ke arah Ingrid di akhir kalimatnya.

Friska kemudian bangkit berdiri dari duduknya, "Ya, tapi gimana pun juga, kalian tau lah kalo gua ini juga punya saham di Yayasan Wardana, jadi hal-hal sepele kayak gitu bisa gua atasi dengan mudah," ucapnya membuat Ingrid seakan mau muntah mendengarnya. "Apalagi sekarang gua juga punya saham atas nama gua sendiri," tambahnya menyombongkan diri.

"Gila, congkaknya," sahut Ingrid membalas ucapan Friska.

"Nah, sekarang giliran lo yang ngomong," perintah Friska.

Ingrid memutar matanya malas, "Buta lo, ya? Giliran gua masih nanti."

Friska melotot ke arah Ingrid. Ia kemudian melihat ke arah anak-anak yang gilirannya lebih dahulu daripada Ingrid, "Kalian setuju gak kalo Ingrid yang akan ngomong sekarang?"

Semua anak yang merasa ditanya seperti itu mengangguk pelan sambil ketakutan. Bayangkan saja posisinya berada di tengah dua singa SMA Wardana. Friska yang tersenyum puas kembali melihat ke arah Ingrid.

"Mata lo gak buta, 'kan? Mereka setuju aja tuh lo ngomong duluan," tanya Friska.

Ingrid berdecak kesal kemudian memilih untuk menuruti apa kata Friska. Friska yang melihat respon Ingrid akhirnya kembali ke tempat duduknya.

"Banyak yang gua gak suka dari SMA Wardana, entah gurunya ataupun muridnya. Cuma bakal terlalu panjang kalo gua sebutin di sini," ucap Ingrid langsung to the point. "Tapi gua gak bakal mau ngebahas itu juga, gua bukan pendendam. Bagi gua ya yang berlalu ya udah aja. Besides of all bad things, gua masih punya banyak hal baik yang terjadi di SMA Wardana. Gua bersyukur atas hal itu, makasih," lanjutnya dan langsung menutup kalimatnya.

Seusai perayaan api unggun dan barbekyu, kini masuk ke jam bebas. Semua anak boleh langsung kembali ke kamar atau pun jika masih ada yang ingin bersantai di pinggir pantai diperbolehkan. Batas maksimal sampai jam 1 pagi.

Sedangkan besok adalah hari terakhir mereka di Bali. Khusus hari esok hanya diisi jam bebas, semua anak akan diperbolehkan untuk berbelanja ke pasar seni, bersantai di pantai, menyewa motor atau berkegiatan apapun yang penting saat jam makan malam semua anak sudah harus kembali ke penginapan.

•••

"Sudah siap buat pulang?" tanya Dirga yang saat ini sedang menenteng beberapa oleh-oleh yang ia beli di sebuah pasar seni.

Pukul 6 pagi tadi, secara diam-diam Dirga dan Ingrid langsung pergi menaiki motor untuk ke arah Denpasar. Berhubung hampir semua anak-anak masih tertidur—re: tewas—karena begadang semalaman, dengan lancar mereka berhasil menyelinap keluar tanpa sepengetahuan siapa pun.

Dirga yang saat ini mengenakan kemeja putih dan celana selutut berwarna navy, dengan percaya dirinya memakai kacamata hitam sambil melenggang berjalan kaki.

Sedangkan Ingrid mengenakan crop top berwarna putih yang dipadukan dengan celana pendek berwarna cokelat muda. Untuk menghalangi panas matahari ia memakai topi pantai dan kacamata hitam.

"Masa mau nambah beberapa hari lagi?" balas Ingrid kembali bertanya.

Dirga mengendikkan bahunya, "Bebas sih, kita juga gak ikut rombongan, 'kan?"

"Halah, pak Dirga kayak gak punya kerjaan aja," cibir Ingrid sambil merampas minuman dingin dari tangan kiri Dirga.

"Pulang aja, ya?" tawar Dirga sambil melirik ke arah Ingrid yang sedang menyeruput minumannya.

Ingrid pun menjawab dengan anggukan setuju.

Dealing with My Principal  (End✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang