Sambil bersenandung Ingrid sedang melipat pakaian-pakaiannya sambil dibantu oleh Dirga. Tepat dua minggu Ingrid dirawat di rumah sakit dan hari ini ia diizinkan untuk pulang dengan catatan akan rutin melakukan check up dan ganti perban.
Setelah bersungut-sungut dan terus menggerutu selama berada di rumah sakit, akhirnya, hari ini Ingrid akan kembali merasakan udara bebas di luar sana. Raut wajah bahagia Ingrid terlihat sangat jelas terukir. Pipinya yang bersemu merah menandakan raut bahagia.
"Sudah dicek semua?" tanya Dirga mengabsen barang-barang Ingrid.
"Mari kita let's go!" seru Ingrid sambil mengepalkan tangan namun diikuti ringisan perih karena jari jemari tangannya belum sembuh total.
Dirga kemudian bangkit berdiri dan menjinjing tas besar yang sudah diisi barang-barangnya serta milik Ingrid selama di rumah sakit.
"Pak, jalannya pelan-pelan," pinta Ingrid sambil berusaha untuk berdiri dengan stabil.
Dirga mengulurkan tangan, "Mau saya gandeng?"
Ingrid menjawab dengan menggeleng cepat, "Masih perih kalau kepegang."
"Trus mau gimana?" tanya Dirga lagi.
Ingrid akhirnya berusaha untuk mensejajarkan diri dengan Dirga. Ia lalu menarik ujung kaos yang dikenakan Dirga. Tangan kanan Dirga kemudian melingkari bahu Ingrid dari belakang. Seingat Dirga, bagian bahu Ingrid tidak ada yang terluka.
Selangkah demi selangkah pelan, akhirnya Ingrid dan Dirga sampai di pintu depan rumah sakit. Mobil Dirga sudah menunggu tepat di depan pintu dengan supir yang telah standby. Dengan sigap sang supir mengambil tas yang dibawa Dirga dan meletakannya di bagasi, sedang Dirga membantu Ingrid yang sedang berjuang untuk duduk di bangku penumpang.
"Ke rumah Asteria ya, Kang," ucap Dirga kepada sang supir.
"Pak, ini saya beneran nggak bisa pulang ke rumah saya dulu?" tanya Ingrid pada Dirga.
Dirga menggeleng, "Kamu berdiri sendiri aja susah, gimana mau pulang ke rumahmu yang luasnya kayak Ragunan begitu?"
Ingrid hanya mengerucutkan bibirnya mendengar jawaban Dirga. Selama dua minggu ini memang Dirga penuh merawat Ingrid. Sampai-sampai Ingrid merasa kalau Dirga mirip seperti seorang ibu-ibu karena sering mengomel pada Ingrid tentang ini dan itu. Tetapi setidaknya dengan adanya Dirga, Ingrid tidak harus dirawat sendirian lagi, seperti saat itu.
Dirga juga yang datang ke rumah Ingrid untuk mengambil beberapa pasang pakaian milik Ingrid dan peralatan mandi pribadi Ingrid. Sekarang semuanya sudah tertata rapi di rumah yang akan mereka tinggali untuk sementara.
Satu jam kemudian, mobil Dirga memasuki sebuah perumahan dengan plang 'Asteria' terpampang nyata di depannya. Mobil tersebut berhenti tepat di depan rumah yang berbentuk L.
Rumah itu tidak lah besar, jauh lebih kecil dibandingkan rumah Ingrid. Saat Ingrid masuk, rumah tersebut bergaya seperti Jepang campur Korea. Interiornya rata-rata bernuansa kayu dan minimalis. Lantainya hangat karena dipasang parkit kayu. Banyak pintu dan jendela geser yang membuat sirkulasi ruangan amat baik.
Rumah tersebut hanya memiliki ruang tamu, dua kamar tidur, satu kamar mandi, dan satu dapur bersih. Mungkin bagi yang tidak suka sesak, rumah ini cocok maksimal untuk empat orang saja.
"Kamar Ingrid di sini," ucap Dirga sambil membukakan pintu sebuah ruangan.
Di dalam ruangan tersebut terdapat satu ranjang berukuran queen, nakas, lemari, dan meja rias. Ingrid berjalan dengan susah payah untuk dapat duduk di atas ranjang.
"Ternyata rumahnya nggak begitu besar ya," ucap Ingrid sambil memerhatikan seisi kamar sementaranya ini.
Dirga menarik bangku dari meja rias agar bisa berhadapan dengan Ingrid. Ia kemudian berkata, "Saya biasanya juga tinggalnya bukan di sini. Saya tinggal di rumah utama, cuma kalau kamu tinggal di sana juga nanti kesulitan seperti kalau kamu tinggal di rumahmu. Karena rumahnya besar dan banyak tangga," jelas Dirga.
"Nggak masalah, saya lebih suka yang rumah yang ini. Hangat," ucap Ingrid pelan.
"Betah-betah di sini ya, kamar saya di sebelah," ujar Dirga sambil tersenyum.
Dirga kemudian bangkit untuk beranjak meninggalkan Ingrid. Selama dua minggu ini Dirga melihat sisi lain Ingrid yang lebih sendu dan kesepian.
Selama ini Dirga memang lebih sering melihat Ingrid yang tabrak sana-sini, tapi dua minggu terakhir ini sangat memilukan bagi Dirga. Ia tidak bisa membayangkan rasanya jika sedang sakit namun tak ada seorang pun yang menemani. Pasti akan sangat kesulitan.
"Pak Dirga," panggil Ingrid saat Dirga mencapai pintu. "Terima kasih banyak, ya," tambah Ingrid dengan tulus.
Hati Dirga memang tak dapat dipungkiri jika merasa senang, namun di sisi lain juga seperti ada pisau yang menyayat dengan pilu di setiap ucapan sendu Ingrid.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dealing with My Principal (End✅)
Novela JuvenilTahun ajaran baru, SMA Wardana memiliki kepala sekolah baru-beliau masih sangat muda! Panggil saja Pak Dirga. Usut punya usut, ternyata Pak Dirga anak dari kepala sekolah sebelumnya. Menjadi kepala sekolah muda bukan hal yang mudah, apalagi jika sud...