Wajah itu.
Wajah Dirga yang selama ini Ingrid cari-cari kini sedang tersenyum manis di hadapannya. Ingrid masih tetap menangis sambil tak dapat berkata-kata. Ia takut jika saat ini hanyalah imajinasinya saja. Ia takut kalau ternyata pikirannya yang membuat wajah laki-laki di depannya ini menjadi seperti Dirga.
"Terima kasih sudah menepati janjimu ... untuk menjadi lebih dewasa."
Ucapan Dirga menjadi sebuah keyakinan pasti bagi Ingrid bahwa ia tak sedang berhalusinasi.
"Kamu pikir, caramu pergi itu keren?" ucap Ingrid akhirnya setelah berdebat dalam pikirannya sendiri.
Dirga terkekeh, "Marah?"
Gila! Kalo aja ada kata yang bisa melebihi istilah marah pasti udah gua teriakin, batin Ingrid yang memilih untuk menutup mulutnya rapat.
Dirga akhirnya memilih untuk bercerita tentang bagaimana kekuatan uang bekerja melawan hidupnya. Bagaimana orang-orang bisa dibungkam atas eksistensi dirinya. Sampai Dirga selesai bercerita pun, ia tidak menjelaskan dengan pasti bagaimana proses "melupakan Dirga" itu terjadi.
Ingrid sebetulnya ingin bertanya banyak hal tentang ini dan itu. Tapi semuanya itu urung dilakukannya karena ia berpikir daripada sibuk menguliti masa lalu, lebih baik ia beradaptasi dengan realita masa kini. Toh Ingrid yakin bahwa seiring berjalannya waktu ia akan mengerti sendiri bagaimana proses itu terjadi.
"Sebetulnya setelah hari itu, setiap tanggal ulang tahunmu saya selalu berada di sini. Menunggu."
"Oh?"
"Setiap hari pun saya di sini," lanjut Dirga, "saya tinggal di sini." Ia mengakhiri kalimatnya sambil terkekeh sendiri.
Ingrid kemudian bertanya, "Kenapa hari itu gak nunggu saya siuman?"
Dirga tersenyum tipis, "Banyak hal yang terjadi sewaktu kamu lagi melayang-layang."
"Tapi saya mendengar ucapanmu, samar-samar. Saat semuanya gelap."
Dirga menutup mulutnya rapat. Kilas balik masa-masa yang agak pilu bagi Dirga saat ia memilih untuk meninggalkan Ingrid lantaran Ingrid tak kunjung sadar dari tidur lelapnya. Mau tidak mau saat itu Dirga harus meninggalkan Ingrid seperti janjinya pada mama Ingrid.
•••
Semburat jingga mulai mewarnai langit luas. Sejak langit masih biru hingga saat ini pun dua manusia yang masih belum menyelesaikan masa lalunya tetap terduduk diam di tepi pantai. Ombak mulai pasang dan menggulung lebih tinggi lagi.
"Kamu masih marah?" tanya Dirga mengulangi pertanyaannya yang tak dijawab oleh Ingrid.
Ingrid menghela napas kasar, "Rasanya marah bukan kata yang tepat. Delapan tahun sudah saya menggunakan pikiran dan energi saya untuk mencari laki-laki yang bersembunyi di sini."
"Ngomong-ngomong kamu udah gak manggil saya "Pak", ya?" Dirga mengalihkan topik pembicaraan.
Ingrid menyahut, "Saya sudah lulus dari sewindu yang lalu," Ingrid kemudian menambahkan, "bukannya kamu yang minta?"
Dirga tersenyum haru, "Kalau begitu saya boleh minta satu hal lagi?"
Ingrid menaikkan sebelah alisnya.
"Gimana kalau kita mulai menata lagi—"
"—Apa?" sela Ingrid cepat.
"Kehidupan kita masing-masing."
Apa maksudnya itu? Ingrid tak paham.
Ombak yang semakin tinggi membuat Ingrid memutuskan untuk bangkit berdiri. Ia lebih baik kembali ke kamar saja. Gila saja. Delapan tahun ia melakukan pencarian dan ketika telah menemukannya Dirga malah berbicara seolah-olah mereka harus berpisah lagi.
Ingrid berdecak kesal sambil meninggalkan Dirga. Untungnya Dirga langsung berlari mengejar Ingrid sampai berhasil meraih pergelangan tangan Ingrid.
"Saya akan minta izin ke orang tua kamu."
Kalimat Dirga kini justru membuat Ingrid berhenti sejenak.
"Let's get married, Ingrid."
Wajah Ingrid yang sedari tadi muram, kini mulai terganti dengan terbit senyumnya yang merekah.
"Okay, deal?" tanya Ingrid memastikan.
"Deal," jawab Dirga pasti.
Dalam sekejap mata, Ingrid langsung menghambur ke dalam pelukan Dirga. Jika senja delapan tahun yang lalu, Ingrid masih berbincang tentang masa depannya dengan Dirga; senjanya kini justru malah menjadi titik mulai kehidupannya yang baru.
Delapan tahun yang lalu mungkin terdengar tidak etis jika kepala sekolah dan siswa terlibat hubungan asmara. Namun kini mereka sudah sama-sama dewasa. Ingrid bebas menentukan pilihannya tanpa khawatir.
Dan yang terpenting, Ingrid merasa kembali utuh, bersama Dirga.
•••
Dealing with My Principal selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dealing with My Principal (End✅)
Teen FictionTahun ajaran baru, SMA Wardana memiliki kepala sekolah baru-beliau masih sangat muda! Panggil saja Pak Dirga. Usut punya usut, ternyata Pak Dirga anak dari kepala sekolah sebelumnya. Menjadi kepala sekolah muda bukan hal yang mudah, apalagi jika sud...