Tiga Belas - Dekap

215 12 0
                                    

Sudah hari ketiga Ingrid dirawat di rumah sakit. Berhubung sekolah sedang libur trimester, akhirnya Dirga bisa secara penuh menemani Ingrid di rumah sakit. Kecelakaan ini hanya diketahui Dirga, pak Guntur, dan tentunya Astrid. Ingrid meminta agar kabar ini tidak disiarkan di seluruh sekolah.

Ingrid terlalu malas untuk meladeni kalau-kalau ada temannya yang datang menjenguk. Padahal seharusnya mereka yang lebih malas untuk menjenguk Ingrid.

"Pak Dirga," panggil Ingrid yang sedang menyuapkan sesendok bubur untuk Ingrid.

"Telan dulu," perintah Dirga.

Ingrid mengunyah dengan cepat kemudian langsung menelannya, "Motor saya apa kabar?"

Dirga yang mendengar pertanyaan Ingrid langsung menjawab dengan asal, "Saya buang ke Bantar Gebang. Udah jadi rongsokan."

Dirga kemudian menyuapkan lagi sesendok untuk Ingrid. Namun kini Ingrid menerima suapan tersebut dengan kesal.

"Saya kenyang," ucap Ingrid dengan nada merajuk sambil membuang pandangan dari Dirga.

"Ingrid," panggil Dirga dengan nada tegas.

Ingrid tetap tak mau merespon.

"Ingrid Fadelia," panggil Dirga untuk yang kedua kalinya. Nada suara Dirga mulai memberikan tanda peringatan.

Ingrid tetap membuang muka.

"Ingrid! Nggak usah kayak ibu hamil, deh!" seru Dirga akhirnya sambil meletakan mangkuk bubur di atas nakas kemudian menangkup wajah Ingrid dengan kedua tangannya.

Dengan terkejut Ingrid dan Dirga kini saling bertatap-tatapan. Ingrid mengerutkan alisnya sambil menahan sakit di pelipis. Dirga yang tersadar kalau sudah menyenggol luka Ingrid, spontan memeluk Ingrid sambil mengusap-usap pelan kepalanya.

"Maaf, ya..." nadanya seketika berubah lembut.

"Bapak kenapa sampai segini pedulinya dengan saya?" tanya Ingrid yang masih bersembunyi di dalam dekapan Dirga.

Dirga membisu, tak bisa menjawab. Dirga sendiri pun tak tahu mengapa ia bisa sampai menunjukkan rasa pedulinya yang begitu besar kepada Ingrid. Dari sekian banyak variabel dalam kehidupan, mengapa ia harus terpaut dengan Ingrid?

Dirga tetap mengusap-usap pelan kepala Ingrid yang seakan-akan sangat rentan dan ringkih.

Dalam dekapan Dirga, Ingrid berharap agar jangan sampai di antara keduanya ada yang memiliki perasaan lebih dari hubungan guru dan murid. Karena Ingrid tahu, ketika ada salah satu yang melewati batas, maka akan ada masalah-masalah berikutnya yang mengikuti.

Ingrid kini mengangkat kepalanya, "Motor saya gimana, Pak?"

Dirga aslinya sudah ingin menyentil dahi Ingrid namun urung dilakukan mengingat kondisi anak ajaib ini yang sedang babak belur, "Sehat dulu baru nanti pikirin motormu."

Bubur Ingrid kini sudah dingin. Dirga akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan roti yang ia beli saat di perjalanan mengambil ganti baju di rumah.

"Mau yang mana?" tawar Dirga sambil menjejerkan roti beraneka rasa.

Ingrid menimang-nimang sambil berpikir roti apa yang ingin ia makan. Akhirnya pilihan Ingrid jatuh kepada roti sus yang berukuran besar dengan isian kopi.

"Pak Dirga," Ingrid memanggil Dirga sambil mengunyah rotinya, "Perasaan saya nggak punya nomor bapak, deh?"

Dirga terkekeh, "Iya juga ya? Tapi buat apa kamu punya nomor saya?"

"Biar keren aja," jawab Ingrid seraya terkekeh.

Dalam ponsel Ingrid hanya terdapat sedikit nomor warga Wardana; Septa, Deo, pak Guntur, dan Astrid.

"Ya sudah nanti saya kasih," ucap Dirga ringan.

Ingrid menyunggingkan senyum lebar, "Kapan, Pak?"

"Kapan-kapan."

Dealing with My Principal  (End✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang