Dua Puluh Enam - Obrolan Senja

160 9 0
                                    

Angin sepoi-sepoi menerpa wajah Ingrid. Akhirnya Ingrid dan Dirga sampai di Bali. Mereka tiba terlebih dahulu dibandingkan dengan rombongan yang menaiki bus. Mengingat estimasi dengan mengendarai motor bisa mencapai 48 jam perjalanan, maka Ingrid dan Dirga berangkat dua hari sebelum rombongan yang menaiki bus berangkat. Perjalanan menggunakan bus yang melalui tol transjawa akan memakan waktu sedikit-dikitnya 20 jam.

SMA Wardana menyewa sebuah penginapan di Pantai Karma Kandara Ungasan. Pantai ini terletak di sisi paling selatan pulau Bali. Pantai Karma Kandara Ungasan memiliki pasir putih dengan air laut yang berwarna biru jernih disertai ombak kecil. Memang pilihan yang tepat, karena di pantai ini masih belum banyak pengunjung yang dapat melihat keindahannya.

Setelah puas bermain-main di bibir pantai, Ingrid dan Dirga akhirnya menggelar alas karpet yang Ingrid bawa dan menyiapkan beberapa macam makanan di atasnya. Mereka akan menyaksikan matahari terbenam bersama.

"Pemandangannya cantik banget ya, Pak?" tanya Ingrid sambil menatap lurus ke arah laut tenang yang terbiaskan oleh cahaya oranye.

"Iya... cantik," jawab Dirga sambil melihat ke arah Ingrid.

Ingrid menutup matanya sambil merasakan angin yang meniup-niup ke arahnya. Sebelum terlena dengan buaian angin, Ingrid spontan membuka matanya dan menatap Dirga. "Pak, kita buat janji, yuk?" ajak Ingrid.

Dirga mengernyitkan dahinya, "Janji apa?"

"Di ulang tahun saya yang ke-25 nanti, kita ketemu lagi di pantai ini," ucap Ingrid sambil mengangkat jari kelingkingnya.

"Kenapa harus 25 tahun? Kan bisa ulang tahunmu yang berikutnya kita sama-sama ke sini lagi," tanya Dirga tak paham.

"Karena, di usia saya yang ke-25 tahun, pasti saya udah jadi Ingrid yang lebih dewasa dari sekarang," jelasnya sambil tersenyum dengan penuh keyakinan.

Dirga kemudian mengangkat jari kelingkingnya sambil menampilkan sedikit deretan giginya yang rapi. Ingrid langsung mengaitkan jari kelingkingnya dengan kelingking Dirga.

"Ingrid," panggil Dirga, kali ini dirinya yang menatap ke arah laut. "Sampai kapan kamu mau panggil saya dengan sebutan 'Pak'?" tanya Dirga.

Ingrid terkekeh mendengarnya. Pertanyaan aneh yang lahir dari mulut Dirga. Ia kemudian mengambil sebuah roti srikaya yang sejak tadi menganggur. Satu gigitan sebelum Ingrid menjawab pertanyaan aneh Dirga.

"Ih, jawab dong," pinta Dirga, kali ini dengan nada memohon sok imut.

Ingrid lagi-lagi dibuat merinding oleh Dirga. Kenapa Dirga jadi laki-laki aneh seperti ini? Ingrid kemudian menyumpalkan mulut Dirga dengan roti yang masih tersisa. Tangannya ia kebas-kebaskan untuk membersihkan remah-remah roti.

"Sampai kapan ya? Hm, gak etis juga kalo manggil tanpa sebutan 'Pak', soalnya pak Dirga kan guru di SMA Wardana, sedangkan saya juga murid di SMA Wardana. Kecuali kalo pak Dirga itu bapak saya, mungkin panggilannya beda lagi," jawab Ingrid sambil diakhiri dengan kekehan.

Dirga menelan roti yang dikunyahnya kemudian membalas, "Sebentar lagi kamu udah bukan murid SMA Wardana lagi, kan?"

Ingrid mengangguk pelan. Matanya seketika berkaca-kaca. Padahal ia sendiri yang dari dulu bilang kalau ingin cepat lulus. Tapi sekarang saat kelulusan sudah di depan mata, rasanya jadi tidak tega untuk meninggalkan rumah kedua—atau ketiga mungkin?—yang mengisi hari-harinya selama hampir tiga tahun ini.

"Apa rencanamu setelah lulus, Grid?"

Ingrid terdiam sejenak. Sampai sekarang, tidak ada seorang pun yang pernah bertanya hal ini ke Ingrid. Pak Guntur sekali pun tidak.

"Saya mau...." ucapan Ingrid terhenti. Ia sendiri pun masih tidak tahu mau ke mana setelah ini. "Mungkin saya mau ambil waktu rehat dulu selama setahun? Sambil saya mikir lagi saya mau apa," jawab Ingrid dengan nada ragu-ragu.

"Kamu mau ikut saya belajar ke Belanda gak, Grid?"

•••

Ikut atau jangan nih?

Dealing with My Principal  (End✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang