Tok tok tok
Suara ketukan pintu dan diiringi dengan wajah Ingrid yang menyembul dari balik pintu membuat Astrid tersenyum cerah. Sudah sangat lama ia tidak bertemu dengan teman curhat satunya ini.
"Hei... Apa kabar, Ingrid?" sapa Astrid ramah sambil berdiri menghampiri Ingrid.
"Yah, begini," jawab Ingrid pelan sambil berjalan menuju sofa kesayangannya.
Astrid kali ini mengikuti Ingrid sambil terduduk di samping Ingrid. Ingrid kemudian menyerahkan sebuah map berisi dokumen kepada Astrid.
"Apa ini?" Astrid bertanya-tanya sambil menerima dokumen dari Ingrid.
Ingrid tersenyum, "Bu Astrid inget gak kalau dulu saya pernah janji kalau saya lulus saya akan langsung cari bu Astrid buat ngucapin terima kasih sambil kasih Ibu saham?"
Astrid kini menatap Ingrid dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.
"Sekarang Ingrid sudah lulus, Bu. Terima kasih," ucap Ingrid sambil tersenyum haru dan sukses membuat Astrid meneteskan air mata karena terbawa suasana.
Astrid yang berusaha memaksa menghentikan air matanya malah tertawa, justru Ingrid menjadi panik karena membuat Astrid menangis.
"Loh? Kok bu Astrid nangis, sih?" tanya Ingrid panik sambil mengusap-usap lengan Astrid.
Astrid terkekeh pelan, "Gak kok, saya cuma terharu aja. Sepuluh tahun saya kerja di sini, gak ada satu pun anak yang ngucapin terima kasih ke saya waktu mereka lulus," jelas Astrid. "Saya kira waktu itu kamu cuma asal nyeplos aja, Grid," tambahnya.
Kini gantian Ingrid yang terkekeh, "Saya mah orangnya selalu menepati janji, Bu," ucapnya sombong.
Astrid yang mendengarnya langsung tertawa. Air matanya yang tadi turun sudah menguap begitu saja. Ingrid yang tersenyum cerah langsung berubah berwajah sendu. Ia akan menjadikan tempat ini sebagai ruangan penuh memori.
"Kenapa, Ingrid?" tanya Astrid sambil mengelus punggung Ingrid.
"Aduh!" pekik Ingrid membuat Astrid terkejut. "Maaf, Bu. Punggung saya lecet-lecet karena kelamaan berbaring," jelas Ingrid.
Astrid langsung merasa bersalah, "Oh? Maaf saya gak tau kalau sampai begitu."
"Ah, gak apa-apa, Bu. Kalo punggung gak sesakit lecet di bagian pantat saya, nih. Sakit banget," ujar Ingrid sambil mengelus-elus bokongnya.
Seusai suara tawa, kini berganti suara keheningan yang menyelimuti mereka. Ingrid yang sejak awal ingin mengutarakan pertanyaannya, kini harus berbicara karena rasa penasarannya sudah tak tertahankan lagi.
"Pak Dirga, apa kabar, Bu?"
Astrid terdiam sejenak. Ingrid saat ini masih menaruh harapan penuh terhadap Astrid. Apakah Astrid juga sama saja seperti semua orang yang tidak mengenali Dirga?
"Saya gak seharusnya mengatakan ini, tapi saya juga gak mau menyimpannya sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dealing with My Principal (End✅)
Ficção AdolescenteTahun ajaran baru, SMA Wardana memiliki kepala sekolah baru-beliau masih sangat muda! Panggil saja Pak Dirga. Usut punya usut, ternyata Pak Dirga anak dari kepala sekolah sebelumnya. Menjadi kepala sekolah muda bukan hal yang mudah, apalagi jika sud...