"Liburan perpisahan kalian nanti ke Bali," ujar Dirga pada Ingrid yang sedang mengerjakan modulnya.
Ingrid yang tadinya sedang fokus kini langsung menghentikan pekerjaannya. Ia berbalik menatap Dirga yang sedang duduk berselonjor di atas sofa seperti biasanya.
"Saya harus ikut?" tanya Ingrid.
"Kamu ikut," ucap Dirga. "Tapi dengan satu syarat," tambah Dirga terburu-buru.
Ingrid berdecak, "Ah, padahal saya gak mau ikut."
"Kalau kamu bisa melewati hari ujian tanpa bikin satu masalah pun, kamu boleh ikut liburan," jelas Dirga.
Ingrid kembali berbalik dan melanjutkan pekerjaannya saat ini, "Saya di rumah aja," sahutnya malas.
"Kamu gak mau liburan sama saya?" tanya Dirga jahil.
"Dih," ejek Ingrid, "Mana ada ceritanya kepsek ikut liburan perpisahan angkatan."
Dirga mengendikan bahu sambil meraih toples berisi kue kering, "Ya sudah kalau kamu gak mau ikut. Padahal tadinya saya mau ajakin kamu motoran berdua ke Bali."
Ingrid spontan menghentikan pekerjaannya. Dirga menyeringai. Ia yakin pasti Ingrid akan termakan umpan Dirga untuk yang satu ini, karena Dirga tahu Ingrid pasti tak akan berminat untuk ikut liburan perpisahan.
"Motor pak Dirga?" tanya Ingrid penasaran.
Dirga mengacuhkan Ingrid sambil tetap mengunyah kue keringnya.
Ingrid mendesis kesal.
Dirga kemudian terbatuk kecil, "Motor trail warna biru neon."
Dengan tekad bulat, Ingrid berjanji dalam hatinya ia akan menghabiskan sisa waktunya di SMA Dirgantara tanpa terlibat masalah sedikitpun.
•••
"Ini kan yang lo mau?!" teriak Ingrid sambil melemparkan segepok uang berwarna merah muda ke wajah Friska.
Seperti biasa, siswa-siswi lain kini hanya bisa menjadi penonton khidmat pertengkaran dua remaja perempuan yang sejak beberapa waktu lalu menjadi topik hangat di SMA Wardana. Friska yang merasakan uang-uang tersebut mengenai wajahnya langsung mengeraskan rahangnya.
"Heh, brandal! Asal lo tau aja ya, seberapa banyak pun uang yang lo kasih, gak akan bisa gantiin wajah gua yang rusak gara-gara lo," ucap Friska sambil menunjuk dahi Ingrid.
"Berarti dokter lo kurang mahal tuh," balas Ingrid sewot. Ingrid kemudian mengangkat tangannya, "Lo pikir biaya perawatan muka lo sebanding dengan perawatan tangan gua yang harus diterapi berkali-kali?"
Friska menggeram kesal.
Ingrid tertawa pelan, "Bahkan harga diri lo aja gak sebanding, Fris."
Friska kembali menyerang, "Grid, jangan mentang-mentang lo pemegang saham ya makanya lo bisa seenaknya ke gua!"
Ingrid kemudian berjalan meninggalkan Friska. Sebelum keluar dari pintu kelas ia berhenti sejenak dan berbalik menatap Friska.
"Sejak awal gua gak pernah mengganggu lo, Fris. Gua heran apakah lo iri sama gua? Apa perlu gua bagi beberapa lot saham gua buat lo?"
•••
"Katanya habis berantem sama Friska?" tanya Astrid ketika melihat Ingrid memasuki ruang tata usaha.
Ingrid berdecak kesal dan langsung menjatuhkan dirinya di atas sofa. Wajahnya ia benamkan di bantal sofa. Ingrid pusing kalau setiap hari harus bertengkar dengan Friska.
"Bu Astrid tau nama lengkap Friska?"
Astrid terdiam sejenak. Ia kemudian membuka sebuah file di komputer dan menampilkan data pribadi siswa-siswi SMA Wardana.
"Dafriska Anggirianto," ucap Astrid ketika menemukan nama lengkap Friska.
Dengan gerakan malas Ingrid meraih ponsel dari dalam saku roknya dan mencari sebuah kontak yang sudah lama tidak ia hubungi.
"Halo, Yud?"
"Tolong beli saham Yayasan Wardana, terserah berapa lot, atas nama Dafriska Anggirianto."
"Temen, ulang tahun. Dah ya, tolong diurus, thanks."
Ingrid mematikan panggilannya dan meninggalkan Astrid yang kini sedang tercengang-cengang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dealing with My Principal (End✅)
Ficção AdolescenteTahun ajaran baru, SMA Wardana memiliki kepala sekolah baru-beliau masih sangat muda! Panggil saja Pak Dirga. Usut punya usut, ternyata Pak Dirga anak dari kepala sekolah sebelumnya. Menjadi kepala sekolah muda bukan hal yang mudah, apalagi jika sud...