Akibat berjam-jam meringkuk di sebuah lubang perangkap, Gladys terbangun dengan sakit yang mendera sekujur tubuh. Lehernya sakit dan pinggangnya terasa seperti hampir patah. Sambil mengerang, ia berusaha meluruskan kembali otot-ototnya. Kakinya yang terkilir semalam tampak sedikit membengkak.
Sambil duduk memeluk lutut, gadis itu hanya bisa meratap. Setelah kemalangan yang menimpanya di Pulau Amui, ia benar-benar berharap bisa hidup kembali dengan tenang. Namun ternyata takdir berkata lain. Ujian yang lebih berat kini harus ia hadapi, seorang diri.
Meski saat itu mentari telah mencapai puncaknya, Gladys masih terduduk putus asa. Air matanya telah mengering. Dengan tubuh yang kini terasa remuk, ia sama sekali tak memiliki semangat untuk setidaknya mencoba keluar dari lubang.
Hingga beberapa saat kemudian, tiba-tiba terdengar suara gemeresak rumput yang semakin mendekat.
Apakah mereka lagi? gumam Gladys dalam hati. Seketika itu jantungnya kembali berdebar. Namun tak ada yang bisa ia lakukan selain berdoa agar dirinya tak ditemukan.
Jantungnya terasa mencelus ketika bayangan seseorang muncul dan menghalangi sinar yang masuk ke lubang. Mati aku, gumam Gladys. Namun, ia tak dapat melihat dengan jelas karena sosok itu membelakangi arah datangnya sinar.
"Astaga ... Bagaimana kau bisa ada di situ?" tanya sosok itu setengah terkejut.
Pertanyaan tadi membuat Gladys merasa bahwa orang itu bukanlah kaki tangan Arden. Ia pun merasa sedikit lebih tenang. "T-tolong aku," rintihnya dari dasar lubang.
Tanpa kata, pria itu kemudian menghilang selama beberapa saat untuk mencari seutas sulur. Ia lalu segera melemparkannya ke lubang.
"Pegang ini," ujarnya. Suara itu terdengar berat dan asing.
Tak punya pilihan, Gladys menurut saja. Ia memegang erat sulur itu ketika sang pria berusaha menariknya keluar dari lubang.
Untuk beberapa saat, Gladys terduduk di samping penolongnya yang tampak sedang berusaha mengatur kembali napasnya.
"Terima kasih," ujarnya mengapresiasi pertolongan sang orang asing.
"Bukan masalah," sahut si pria yang kini sosoknya sudah terlihat jelas. Garis rahangnya tegas dengan kulit wajah yang tampak kecoklatan karena terbakar sinar matahari. Matanya hitam. Perawakannya agak kurus.
"Siapa kau? Bagaimana kau bisa jatuh ke dalam perangkap yang kubuat?" tanyanya lagi.
"Namaku ... Violet." Gladys merasa bahwa ia harus merahasiakan identitas aslinya untuk menjaga diri. "Siapa namamu?"
"Panggil saja aku Will," sahut si pria. "Lalu bagaimana kau bisa sampai di sini?"
Gladys terdiam karena tak tahu harus menjawab apa. Ia tak mungkin mengatakan bahwa dirinya adalah putri Fernir, penguasa Fortsouth. Ia sama sekali belum mengenal Will dan apa motivasinya. Gladys pun hanya menatap Will dengan sorot mata sendu.
"Sepertinya kau baru saja mengalami sesuatu yang berat. Tak apa jika kau belum siap menceritakannya." Will menyahut sambil tersenyum tipis. Setelah itu ia bangkit seraya mengulurkan tangan untuk membantu Gladys. "Ayo kita pergi ke gubuk."
Sambil menghela napas lega karena tak harus menjawab pertanyaan Will, perempuan itu pun tersenyum dan segera mencoba bangkit. Namun, ia kembali meringis kesakitan karena kakinya yang terkilir. Dan ketika hampir terjatuh, Will bergerak sigap untuk menahan.
"Terima kasih," ujar Gladys sambil tersenyum. Sambil tertatih-tatih, ia pun berjalan dengan merangkulkan tangan ke pundak Will.
"Beristirahatlah, aku akan mengambil air dan mencari makanan," ujar Will setibanya mereka di gubuk. Ia lalu memapah sang putri berjalan menuju sebuah pembaringan.
![](https://img.wattpad.com/cover/292752376-288-k851148.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Putra Penyihir - Raung Kehancuran
Fantasy[Buku ketiga dari seri Putra Penyihir] Kehidupan Gladys yang awalnya bahagia berubah nestapa hanya dalam semalam. Tangisnya pecah dari balik jeruji besi, sementara ia tak tahu lagi siapa kawan siapa lawan. Malam itu, ia terusir dari rumahnya dan ter...