Anna sedang berdiri di tepi tembok kastel sambil menatap kosong langit malam. Angin berembus sepoi membelai wajah sambil mempermainkan rambut cokelat gelapnya. Tanpa sadar, air matanya jatuh menetes membasahi lantai berbatu. Hatinya masih berduka karena kematian Alice yang dieksekusi oleh sang ratu.
Bukankah mereka sudah berjanji untuk setidaknya menunggu hingga peperangan usai? Anna merutuk dalam hati karena tak memiliki keberanian untuk langsung mengonfrontasi sang calon mertua.
Ia mendesah berat sambil menimbang-nimbang, apakah menanyakan kematian Alice pada Andrew akan menjadi langkah yang bijak? Atau hal itu bisa menyinggung perasaannya dan justru menimbulkan masalah baru?
Anna kembali membiarkan pandangannya berkelana di langit, berharap menemukan jawaban pada salah satu bintang.
Beberapa saat berlalu hingga tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mendekat. Anna spontan mengusap sudut matanya yang basah.
"Andrew? Tumben keluar malam-malam."
Mendengar pertanyaan Anna, sang pangeran memilih diam dan berdiri di sebelah sang kekasih. Ia lalu membuang pandangan ke langit sambil mengembuskan napas panjang.
"Kau sendiri? Kenapa belum tidur?" tanya Andrew.
"Pikiranku sedang kalut," sahut Anna singkat.
"Kau pasti memikirkan kematian Alice," ujar Andrew masih sambil menatap langit.
Anna mengangguk pelan lalu terdiam sejenak.
"Kenapa ibumu mengeksekusinya?" lirih Anna hampir tak terdengar. Pertanyaan itu terlontar tanpa bisa ditahan lagi.
"Maafkan aku, kau mungkin tidak akan percaya ini, tapi dia tertangkap membunuh Nenek Amery," sahut Andrew berhati-hati.
Seketika itu, mata Anna membelalak menatap Andrew. "T-tidak mungkin. Dia tidak akan berani melakukan hal sekeji itu. Lagipula untuk apa dia membunuh Nenek Amery?"
"Aku tahu kau tak akan percaya, tapi dia satu-satunya yang berada di kamar nenek ketika beliau wafat tertusuk belati."
"Tidak! Tidak! Pasti ada kesalahpahaman!" protes Anna.
"Awalnya aku juga tak percaya. Tapi ada beberapa penjaga yang melihatnya. Aku sudah menanyai mereka satu per satu secara langsung."
Mendengar itu, Anna tak mampu berkata-kata lagi. Ia hanya menutup mulut kebingungan. Sekarang ia benar-benar tak tahu harus percaya pada siapa. Alice yang ia kenal tak mungkin melakukan itu.
"Ibuku bilang bahwa ia tak mungkin menahan seorang penyihir dengan kemampuan meloloskan diri dari penjara. Tak ada pilihan lain baginya. Alice harus segera dieksekusi," desah Andrew sambil menatap Anna yang masih tampak sangat terperanjat.
"T-tidak mungkin!" Mata Anna membelalak tak percaya. Detik itu juga ia memilih pergi meninggalkan Andrew. Tanpa kata, ia berlari ke kamar dan segera mengunci pintu. Ia bersandar di balik pintu lalu merosot dan terduduk sambil memeluk lutut.
Ini tidak mungkin! Alice tidak mungkin membunuh Nenek Amery. Apa yang sebenarnya terjadi? Anna memekik dalam diam sementara air matanya terus menetes. Hatinya memberontak. Ia sama sekali tak bisa menerima informasi bahwa sahabatnya adalah seorang pembunuh.
Namun tak ada yang bisa dilakukannya sekarang. Alice dan Nenek Amery telah wafat. Selain mereka, tak ada yang tahu secara jelas apa yang telah terjadi.
Kecuali Ratu Julia, batinnya.
Entah bagaimana, kecurigaan Anna terhadap sang calon ibu mertua terasa semakin membesar. Berbagai prasangka yang muncul dalam benak membuatnya kewalahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putra Penyihir - Raung Kehancuran
Fantasy[Buku ketiga dari seri Putra Penyihir] Kehidupan Gladys yang awalnya bahagia berubah nestapa hanya dalam semalam. Tangisnya pecah dari balik jeruji besi, sementara ia tak tahu lagi siapa kawan siapa lawan. Malam itu, ia terusir dari rumahnya dan ter...