Will menyeka keringat yang mengucur di wajah. Ia kini duduk di bawah pohon tak jauh dari kastel tempat Gladys disekap. Entah apa yang sedang dilalui gadis itu, Will bahkan tak sanggup memikirkannya.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Evelyn lirih. Meski berhasil selamat, hatinya sama sekali tak tentram. Ia tahu ada perempuan lain yang kini menderita menggantikan posisinya.
"Entahlah, penjagaan di sini sangat ketat," sahut Will gusar. "Sudah cukup lama kita menunggu, tapi mereka sama sekali tak lengah."
Evelyn tak menyahut lagi. Ia beringsut semakin dekat dengan batang pohon, berharap mendapat lebih banyak peneduhan. Saat itu hari sudah semakin siang dan mentari bersinar cukup terik.
Beberapa saat kemudian, gerbang kastel terbuka dan Dave keluar dari sana dengan tergesa.
"Itu si pedagang budak," bisik Evelyn sambil menepuk-nepuk bahu kakaknya.
Will sontak menegakkan tubuh dan mengamati dengan saksama. Dave terlihat berjalan sendiri dengan langkah tergesa.
"Aku akan membuntutinya. Kau mau ikut?" tanya Will.
Evelyn mengangguk tegas. "Jangan tinggalkan aku," ujarnya. Ia sangat takut jika sampai tertangkap lagi oleh kaki tangan Tuan Rafael.
Kedua kakak beradik itu pun berjalan beriringan mengekori sang pedagang budak. Mereka berjalan menyusuri jalanan kota, dari yang semula ramai hingga berangsur sepi. Keduanya terpaksa menjaga jarak semakin jauh agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Suatu ketika, Dave berbelok di sebuah gang sempit. Will dan Evelyn juga mengikutinya masuk ke situ. Namun, saat mereka tiba, sosok si pedagang budak itu tak dapat ditemukan lagi. Gang itu sama sekali kosong.
"Sial, kita kehilangan jejak," gumam Will.
"Cepat sekali ... ke mana dia?" Evelyn menjawab dengan mengedikkan bahu. Keduanya celingukan ke segala penjuru tanpa menemukan petunjuk sedikit pun. Hanya ada seekor kucing yang mendekat sambil mengeong lirih.
"Ia tampak kelaparan," ujar Evelyn.
"Asal kau tahu, aku juga kelaparan," timpal Will. "Ayo kita kembali saja ke gerbang kastel. Bagaimanapun, sepertinya Gladys masih di sana."
Meski masih merasa aneh, Evelyn menurut saja. Tak ada pilihan lain saat itu Keduanya pun berjalan kembali kembali menuju gerbang kastel. Di situ suasana masih sama dengan beberapa penjaga yang terus bersiaga.
Belum menemukan cara untuk menyelamatkan sang putri, Will menghela napas panjang lalu menyandarkan kepala di batang pohon.
"Maaf ..." lirihnya. Meski tahu bahwa apa yang ia katakan tak akan sampai pada Gladys, pemuda itu tiba-tiba terdorong untuk mengungkap penyesalannya. Tanpa terasa, sebutir air mata pun jatuh menetes.
Menit demi menit berlalu. Angin bertiup sepoi membawa aroma musim gugur. Awan berarak menaungi langit dan membuat suasana jauh lebih teduh. Will dan Evelyn pun terbuai hingga akhirnya jatuh terlelap.
Mereka terbangun beberapa saat kemudian saat terdengar keributan dari para penduduk kota.
"Apa yang terjadi?" gumam Evelyn sambil membangunkan sang kakak. Orang-orang tampak berkumpul di pinggir jalan tak jauh dari mereka beristirahat.
"Ayo kita lihat." Will bergegas bangkit lalu bergabung dengan beberapa orang yang berdiri di tepi jalan.
Dave datang lagi, tapi kali ini ia bersama dengan beberapa orang ajudan dan sebuah karavan berteralis. Will bisa melihat raut sendu seorang perempuan di dalam sana.
"Ia membawa budak-budaknya yang lain," gumam Will.
Beberapa saat kemudian, iring-iringan itu masuk ke kastel dan gerbang kembali ditutup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putra Penyihir - Raung Kehancuran
Fantasy[Buku ketiga dari seri Putra Penyihir] Kehidupan Gladys yang awalnya bahagia berubah nestapa hanya dalam semalam. Tangisnya pecah dari balik jeruji besi, sementara ia tak tahu lagi siapa kawan siapa lawan. Malam itu, ia terusir dari rumahnya dan ter...