Bab 23

86 22 40
                                    

Setelah menempuh perjalanan jauh, Peter akhirnya tiba di Arvendale. Atas izin Tuan Owin, ia tinggal di barak bersama para penjaga selama persinggahannya. Pemuda itu hanya berencana tinggal di kota itu selama beberapa hari untuk mengumpulkan perbekalan sebelum melanjutkan perjalanan ke Desa Albien. Sesuai petunjuk Ronald, ia bermaksud menemui Kildan untuk mempelajari sihir es serta mendapatkan tongkat sihir.

Ketika sedang mengantre untuk makan siang bersama para penjaga di barak, Jane datang menemuinya.

"Ada apa?" tanya Peter ketika ia mendapati sang gadis tomboi sudah berdiri di dekatnya.

"Makanan di sini mengerikan. Ayo ikut denganku mencari makanan di luar." Lalu, tanpa menunggu persetujuan Peter, perempuan itu menarik tangannya.

Karena perempuan itu sama sekali tak berniat melakukan negosiasi, Peter hanya bisa mengikuti kemauannya. Berganti suasana sejenak juga akan lebih menyenangkan daripada terus berada di barak yang gelap dan sumpek.

Angin dingin berembus seiring langkah Peter keluar dari kastel. Sambil mengeratkan mantel, keduanya pun berjalan menyusuri jalanan kota yang tertutup salju tipis. Cuaca di Arvendale memang lebih dingin jika dibanding wilayah lain di Ethardos.

Seolah tak terpengaruh suhu udara dingin, para warga kota beraktivitas seperti biasa di balik pakaian tebal. Jane rupanya cukup dikenal di kota karena predikatnya sebagai putri penguasa wilayah. Ia menyapa orang-orang yang dikenalnya dengan ramah. Sementara itu---sebagai orang yang berada di dekat Jane---Peter merasa agak risih dengan semua perhatian yang ia dapatkan.

"Kekasih baru?" tanya seorang pemuda pada Jane.

"Jangan asal bicara!" hardik Jane sambil menjitak kepala seorang pemuda berjubah putih. Meski berstatus bangsawan, Jane tampaknya tidak terlalu peduli dengan segala peraturan sopan santun seorang putri. Ia lebih nyaman berpenampilan seperti pria dan membaur dengan warga. Tuan Owin sudah sering memperingatkannya, tetapi Jane bersikeras untuk tetap menjadi dirinya sendiri. Ia bahkan tak segan untuk kabur jika mendapatkan teguran keras. Akhirnya, Tuan Owin pun menyerah dan membebaskan putrinya. 

Setelah beberapa saat berjalan, Jane akhirnya masuk ke sebuah kedai. Perapian yang menyala membuat suasana di situ terasa lebih hangat. "Kedai ini menjual sup daging rusa terenak," ujar Jane sambil duduk di salah satu meja.

"Dua porsi ekstra kuah?" tanya sang pelayan kedai pada Jane. Karena sudah sering makan di situ, sang pelayan pun tahu menu kesukaan pelanggan istimewanya. Sambil tersenyum, Jane mengangguk mengiyakan.

Tak lama, pesanan mereka pun datang. Penampilannya sangat menggugah selera dengan uap panas yang mengepul. Sangat cocok disantap saat situasi dingin seperti sekarang.

Peter dan Jane pun langsung menyeruput hidangan itu, menikmati kehangatannya. Rasa gurih dan segar seketika menyapa lidah mereka.

"Lezat sekali," gumam Peter.

"Sudah kubilang kan," sahut Jane sambil menyuap sendok berikutnya.

"Omong-omong, bukankah seorang putri sepertimu seharusnya makan di kastel?" tanya Peter.

"Ya, tapi akan sangat membosankan jika aku tak boleh menjajal makanan di tempat lain," sahut Jane. "Selama tidak melanggar hukum, ayah memberiku kebebasan."

"Tapi apakah kau tidak takut dengan kejahatan di kota? Seorang putri penguasa bisa jadi incaran orang-orang jahat bukan?"

"Kau tak lihat di sepanjang jalan tadi kita berpapasan dengan beberapa orang berjubah putih? Mereka adalah gerpa, para penegak hukum dan pelindung masyarakat. Berkat mereka, tak ada penjahat yang berani berkeliaran di kota."

Putra Penyihir - Raung KehancuranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang