Setelah menempuh perjalanan berhari-hari, Peter akhirnya tiba di Kingsfort. Ia berniat singgah di situ sebelum melanjutkan perjalanan ke Arvendale. Dalam hati, ia berharap masih bisa bertemu Anna untuk sekadar mengetahui bagaimana kabarnya.
Keramaian kota segera menyambut begitu ia menginjakkan kaki di sana. Banyak pedagang berlalu lalang dengan kereta kuda sambil membawa bermacam barang untuk dijual. Cuaca siang yang cukup terik membuat Peter memutuskan untuk singgah sejenak di sebuah kedai untuk melepas lelah.
Tak lama kemudian, seorang gadis datang juga ke situ. Rambutnya pendek sebahu berwarna kemerahan. Meski jelas seorang perempuan, ia mengenakan celana panjang seperti laki-laki. Wajahnya riang dengan senyum merekah menghiasi bibir.
"Aku pesan semangkuk mie!" serunya pada si penjual. Ia duduk tak jauh dari Peter lalu tersenyum menyapa.
"Hai ... kau pendatang?" tanya sang gadis ramah sambil menatap pada buntalan kain besar di sebelah Peter.
"Uhh ... i-iya," gagap Peter yang tak terbiasa berbicara dengan orang asing.
"Siapa namamu?"
"Aku Peter, kau?"
"Aku Jane," sahut si gadis masih sambil tersenyum. "Dari mana asalmu?" tanyanya lagi.
"Aku dari Fortsouth, tapi sudah cukup lama aku pergi berkelana," sahut Peter apa adanya. Ia terpaksa menghentukan sejenak aktivitas mengunyahnya demi meladeni obrolan.
"Wow ... pergi berkelana sepertinya seru. Aku selalu berharap bisa pergi bertualang dan melihat tempat-tempat baru. Kau mau ke mana setelah ini?"
"Arvendale," sahut Peter singkat.
"Arvendale? Itu tempat asalku." Gadis itu menoleh dan menatap Peter penuh semangat.
"Jadi kau juga bukan orang sini?" tanya Peter.
"Ya. Aku bersama kakak dan ayahku datang ke sini sebagai perwakilan dari Arvendale untuk menghadiri pernikahan Pangeran Andrew dan Putri Anna."
Mendengar itu, Peter tiba-tiba merasa hatinya nyeri dan napasnya tercekat. Oksigen seolah baru saja direnggut dari paru-parunya. Untuk menutupi perasaannya, ia menunduk dan menyuap kembali makanannya.
"Ada apa? Kau seperti baru saja melihat hantu?" tanya Jane sambil menatap pada Peter menyelidik.
Peter hanya menggeleng sebagai jawaban. Detik itu juga ia menyadari bahwa keinginannya bertemu Anna adalah sesuatu yang sangat bodoh. Ia buru-buru menandaskan makanannya lalu berdiri hendak membayar. Pemuda itu berpikir untuk seceparnya pergi dari situ Namun, kantung uang milikinya tak ada di tempatnya.
Astaga! Ceroboh sekali aku, gumam Peter gelisah. Setelah beberapa saat mencari ke sekitar, pemuda itu pun menyerah dan mengakui kehilangannya.
"Ma-maaf, uangku hilang. Mungkin jatuh atau seseorang telah mencurinya," gagap Peter pada sang pemilik kedai yang menatapnya tajam.
Untuk beberapa saat keheningan tak menyenangkan terasa mengambang di udara. Sang pemilik kedai menatap Peter dalam diam.
"Tenang, biar aku yang bayar," ujar Jane tiba-tiba. Ia merogoh saku dan menyerahkan sepuluh keping koin perak pada sang penjual makanan.
"Terima kasih," sahut sang pemilik kedai. Sementara itu, Peter masih berdiri terdiam di tempat meratapi kehilangannya. Ia tak mungkin melanjutkan perjalanan tanpa uang sepeser pun.
"Kau mau di sini terus?" Pertanyaan Jane sontak menyadarkan Peter.
"Uhh ... t-tentu tidak. Terima kasih atas bantuannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Putra Penyihir - Raung Kehancuran
Fantasy[Buku ketiga dari seri Putra Penyihir] Kehidupan Gladys yang awalnya bahagia berubah nestapa hanya dalam semalam. Tangisnya pecah dari balik jeruji besi, sementara ia tak tahu lagi siapa kawan siapa lawan. Malam itu, ia terusir dari rumahnya dan ter...