Selama beberapa hari, Peter berlayar menyeberangi Laut Tangal lalu melanjutkannya dengan perjalanan darat. Pemuda itu cukup beruntung karena tidak menemui kesulitan berarti. Semuanya berkat Eric yang sudah membekalinya dengan sejumlah uang dan makanan. Ia bisa berhenti di penginapan-penginapan untuk beristirahat serta mengisi perbekalan.
Suatu sore, Peter akhirnya tiba di kastel Girondin. Ia langsung menemui para penjaga di pintu gerbang dan menyampaikan niatnya untuk bertemu Ronald.
Peter mengikuti para penjaga berjalan melalui lorong-lorong kastel hingga tiba di sebuah kamar. Tak lama setelah pintu diketuk, Ronald keluar dan mempersilakan tamunya masuk.
Ruangan itu cukup besar, lengkap dengan lemari, meja, dan kursi kayu. Memiliki hubungan baik dengan sang penguasa, Ronald tampaknya cukup disegani di situ.
"Kau sudah kembali? Kupikir kau akan menghabiskan waktu lebih lama di Fortsouth," ujar Ronald sambil tersenyum tipis.
"Ya, semuanya tidak seperti yang aku kira," desah Peter.
"Apa yang terjadi?" tanya Ronald sambil duduk di sebuah kursi. Peter melakukan hal yang sama sambil mendesah berat. Ia sama sekali tak berusaha menutupi kegalauan hatinya. Bagaimanapun, ia sudah memendamnya sendirian selama ini.
"Ibuku meninggal ... dan aku tak sempat bertemu dengannya untuk yang terakhir kali."
"Aku turut berdukacita," sahut Ronald.
"Terima kasih," balas Peter sambil meremas jemari. Keduanya lalu terdiam lagi. Angin berembus lembut dari jendela kamar yang dibiarkan terbuka, sementara kicauan burung terdengar sayup-sayup dari kejauhan.
"Jadi ... kau sudah siap untuk melanjutkan latihan sihirmu?" tanya Ronald.
"Entahlah ... Saat ini aku merasa bahwa semua itu seperti percuma. Untuk apa aku belajar sihir jika akhirnya semua orang yang aku sayangi pergi?" Ada getir yang terasa dalam pernyataan pemuda itu.
Ronald berdehem sejenak sambil mengetukkan jari di meja. Sesaat kemudian ia berkata, "Jadi menurutmu, tindakanmu menyelamatkanku saat melawan Karl itu percuma?"
"Bukan begitu maksudku."
"Lalu?"
Peter hanya terdiam tak menyahut. Dalam hati ia sadar bahwa sihir tentu bisa membantu. Ia hanya belum bisa menerima kenyataan bahwa orang-orang yang disayanginya pergi terlalu cepat.
"Kehilangan orang-orang terdekat memang sangat berat. Tapi itu sama sekali bukan salahmu. Menguasai sihir tidak berarti bahwa kau akan mendapatkan semua yang kau harapkan dengan mudah. Menguasai sihir berarti kau bersedia menerima beban dan tanggung jawab yang lebih besar."
"Begitukah?"
Ronald mengangguk. "Takdir punya cara kerjanya sendiri. Ketika semua sudah terjadi, tak ada yang bisa kita lakukan selain menerimanya."
"Itu benar ... tapi ... ini sangat sulit."
"Aku tahu." Ronald menatap Peter tajam. "Aku pun sempat terpuruk selama berminggu-minggu ketika orang yang sangat kusayangi wafat. Namun, tak ada orang lain yang bisa membantu. Kau sendirilah yang harus memutuskan untuk bangkit. Ingat, orang terkuat bukanlah mereka yang tak pernah jatuh, tapi mereka yang selalu bangkit setelah jatuh."
Nasihat Ronald itu setidaknya membuat Peter termenung sesaat. Ia lalu membuang pandangannya menerawang ke luar jendela. Setelah semua yang terjadi, pemuda itu menyadari bahwa ia kini sudah berbeda dengan dirinya yang dulu. Ia yang dulu tak akan berani menantang Karl di medan perang. Ia mungkin akan lebih memilih bersembunyi di balik pohon dan menanti peperangan usai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putra Penyihir - Raung Kehancuran
Fantasía[Buku ketiga dari seri Putra Penyihir] Kehidupan Gladys yang awalnya bahagia berubah nestapa hanya dalam semalam. Tangisnya pecah dari balik jeruji besi, sementara ia tak tahu lagi siapa kawan siapa lawan. Malam itu, ia terusir dari rumahnya dan ter...