Hari berganti. Peter merasa emosinya sudah lebih stabil meski jiwanya tetap kosong. Kala itu ia berjalan-jalan di kebun belakang kastel yang dulu menjadi tempat favorit Muriel. Ia berharap setidaknya bisa mendapat sedikit penghiburan.
Sambil melangkah gontai, Peter melihat Eric sedang duduk di tepi kolam. Kesatria itu menatap hampa pada tanaman ginseng seribu tahun yang kini sedang berbuah. Tanaman yang dulu diberikan mendiang orang tua Aileen---seorang bangsawan dari negeri seberang---sebagai hadiah pernikahan dengan Gideon.
Tanpa suara, Peter mengambil tempat di sebelah Eric.
"Hai," ujarnya singkat.
"Hai juga," balas Eric tak kalah lesu.
Keduanya lalu terdiam lagi dengan tatapan kosong.
"Apa rencanamu setelah ini?" tanya Eric setelah beberapa lama larut dalam keheningan.
Peter mengangkat bahu. "Entahlah. Mungkin sebaiknya aku segera kembali ke Girondin untuk berlatih sihir. Ronald menungguku di sana."
Eric menatap Peter lalu tersenyum sekilas. "Pergilah. Kau masih muda dan berbakat. Aku yakin kau akan menjadi seseorang yang besar di masa depan."
"Terima kasih." Peter memaksakan seulas senyum. Bagaimanapun ia masih merasa gagal karena tak bisa berbakti pada ibunya.
Setelah itu suasana hening lagi. Burung-burung tampak bermain sambil berkicau di sela pepohonan dan bunga-bungaan. Kupu-kupu terbang dan hinggap mengisap sari bunga.
"Kalau begitu kapan kau berniat pergi? Aku bisa membantumu mendapatkan kapal," tanya Eric.
"Kurasa secepatnya akan lebih baik. Terus berada di sini hanya akan membuatku semakin sulit untuk bangkit. Setidaknya belajar sihir membuatku merasa masih punya tujuan hidup."
"Bagus kalau begitu." Eric menepuk bahu Peter. "Tetaplah bersemangat. Aku akan membuatkanmu surat yang bisa kau berikan pada seorang kapten kapal di dermaga. Ia akan segera mengantarmu."
"Terima kasih." Peter mengangguk singkat lalu melangkah pergi meninggalkan kebun. Sementara itu, Eric meremas selembar surat yang ia terima pagi itu dari seseorang yang mengaku utusan Harduin. Isinya meminta Eric untuk datang seorang diri ke hutan selatan jika ingin sang istri selamat. Di dalamnya juga terselip cincin pernikahan dan sejumput rambut merah Egelina.
Tak mau Peter celaka karena terlibat dalam masalah pribadinya, Eric berniat mengirim Peter pergi sebelum berusaha menyelamatkan Egelina. Ia pun beranjak meninggalkan kebun bunga dengan wajah gusar.
***
Suatu malam, ketika semua orang terlelap dan Peter telah berangkat ke Girondin, Eric bersiap mengenakan baju perangnya. Meski sadar bahwa kemungkinan besar tak bisa selamat, ia ingin memberikan perlawanan terakhir yang cukup berarti bagi para pemberontak Harduin. Dengan pedang dan perisai terselip di punggung, ia pergi meninggalkan kamarnya.
Pria itu melangkah terburu-buru tanpa memedulikan para penjaga kastel yang menatapnya keheranan. Sesampainya di istal, ia langsung menunggang kuda dan meminta penjaga untuk membuka gerbang kastel.
Meski bertanya-tanya dalam hati, penjaga itu tak mempunyai pilihan. Ia tetap membukakan pintu karena yang memberikan perintah adalah Eric, sang kepala pasukan.
Dengan hati yang gundah, Eric langsung memacu kuda menembus belantara. Ia tak tahu apa yang kini sedang menunggunya, atau apakah ia akan berhasil menyelamatkan Egelina. Namun, seandainya pun gagal, ia berharap setidaknya bisa bertemu dengan sang istri sebelum ajal.
Suara binatang-binatang malam kini menjadi pengiring derap langkah kudanya melewati pepohonan.
Beberapa saat kemudian, terlihat beberapa obor menyala di kejauhan. Semburat kemerahan tampak berpendar mewarnai langit malam. Eric pun memperlambat laju kudanya. Kini ia harus bertindak lebih hati-hati. Musuh sudah tak jauh lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putra Penyihir - Raung Kehancuran
Fantasy[Buku ketiga dari seri Putra Penyihir] Kehidupan Gladys yang awalnya bahagia berubah nestapa hanya dalam semalam. Tangisnya pecah dari balik jeruji besi, sementara ia tak tahu lagi siapa kawan siapa lawan. Malam itu, ia terusir dari rumahnya dan ter...