Senyum Anna seketika memudar kala rasa nyeri yang tak tertahankan menyebar ke seluruh tubuh. Kesadarannya menurun dan ia pun ambruk ke tanah.
Susan segera berlari menghampiri dan memeluk tubuh Anna dengan mata berkaca-kaca.
"Ya Tuhan ... kenapa jadi begini?" rutuk Susan sambil berurai air mata. Tangannya basah oleh darah yang mengalir deras dari luka Anna.
"S-susan ... lama tak berjumpa," desis Anna sambil memaksakan seulas senyum.
"Bertahanlah. Kau pasti bisa bertahan. Kau bisa memulihkan diri bukan?" Tangan Susan gemetar berusaha menutup luka akibat anak panah yang menembus tubuh Anna.
"P-percuma saja. Semua sudah terlambat," lirih Anna sambil menggenggam tangan Susan. "Aku sudah menghabiskan energi sihirku untuk menolong mereka yang terluka. Kini aku tak bisa menyembuhkan diri lagi."
"L-lalu apa yang harus kulakukan? Kita adalah penyihir. Pasti ada cara," racau Susan kebingungan.
"Hentikan peperangan ini. Kau seorang antorum. Masuklah ke dalam pikiran setiap orang. Pengaruhi mereka untuk berhenti saling membunuh."
"T-tapi mereka terlalu banyak. Aku tak bisa merasuki pikiran mereka semua sekaligus."
"Berusahalah ... kau ... pasti ... bisa." Setelah itu tangan Anna jatuh terkulai dan ia mengembuskan napas terakhirnya.
Detik itu juga, tangis Susan pun pecah. Tubuhnya berguncang hebat sambil memeluk Anna erat. Ia tak menyangka bahwa upayanya memperjuangkan nasib para penyihir justru berujung perpecahan di kalangan mereka sendiri. Seketika itu jiwanya terasa kosong. Kegelapan terasa seperti menelannya bulat-bulat.
Peter dan Andrew yang melihat kematian Anna dari atas tembok langsung menjerit jeri. Dorongan emosi itu seketika membuat intensitas serangan mereka meningkat. Sihir Peter semakin kuat sementara Andrew menghantam dengan membabi-buta.
Tak siap dengan kejutan lawan, Stevan tak mampu bertahan. Perisai sihirnya hancur oleh hantaman pedang Andrew sementara sihir Peter pun langsung menyambarnya telak. Seketika itu, Stevan terpental dan terjungkal hingga jatuh dari atas tembok.
"ANNA!" teriak Peter dan Andrew bersamaan. Meski ingin segera turun menghampiri, gelombang demi gelombang serangan musuh yang datang memaksa mereka untuk kembali bertempur. Dengan hati yang remuk, Peter kembali melontarkan petir sementara Andrew menyabet setiap lawan di hadapannya.
Sementara itu, Susan yang terduduk di samping Anna masih larut dalam duka mendalam. Dengan mata yang basah, ia menatap sekelilingnya. Korban terus berjatuhan dan jerit kesakitan memenuhi gendang telinganya.
Merasa tak sanggup melihat lebih banyak lagi, Susan akhirnya menjerit frustrasi, "HENTIKAAAN!!"
Detik itu juga, kedua belah pihak tiba-tiba berhenti berperang. Jeritan Susan itu seperti merasuk dalam benak setiap orang dan memerintahkan otot-otot mereka untuk berhenti bergerak.
Susan tercenung sejenak akan keajaiban itu. Namun, ia segera menguasai diri dan berkonsentrasi lagi. Entah bagaimana, ia merasa kekuatan pikirannya kini melampai batas normal.
Semua mata kini tertuju padanya.
"Lihat sekelilingmu! Apakah ini yang kalian semua inginkan? Kehancuran dan kematian?" ujar Susan sarat emosi. Sementara itu semua orang terdiam seolah terhipnotis.
"Kalian lihat! Sudah terlalu banyak korban yang jatuh. Demi apa? Kekuasaan? Dendam? Apakah itu sepadan dengan harga yang harus dibayar? Apakah ribuan nyawa ini sepadan?" ujar Susan dengan suara tercekat.
"Aku akui, bahwa aku juga memiliki andil dalam kekacauan ini. Dan aku sangat menyesal. Sahabatku sendiri, orang yang justru paling tidak berdosa, kini harus jadi korban," isak Susan. "Tolong ... sekali lagi aku mohon ... hentikan kengerian ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Putra Penyihir - Raung Kehancuran
Fantasía[Buku ketiga dari seri Putra Penyihir] Kehidupan Gladys yang awalnya bahagia berubah nestapa hanya dalam semalam. Tangisnya pecah dari balik jeruji besi, sementara ia tak tahu lagi siapa kawan siapa lawan. Malam itu, ia terusir dari rumahnya dan ter...