Sepeninggal Ronald, nasib Zalika semakin terpuruk. Dickens memperlakukannya hanya seperti burung dalam sangkar emas. Tak ada kebebasan, hanya kesendirian yang selalu setia menemani. Ia dilarang keluar dari area kastel ataupun bertemu orang lain.
Meski secara jasmani tidak kekurangan, batin Zalika sungguh merana. Satu-satunya hal yang membuatnya masih bertahan ialah keinginannya untuk membalas dendam. Ia tak bisa menghadap orang tuanya sebelum melihat kehancuran Karl dan Dickens.
Seperti biasa, suatu malam seorang pelayan datang untuk mengantarkan makanan ke kamarnya.
Meski sama sekali tak berselera, Zalika memaksakan makanan itu masuk melalui kerongkongannya. Pikirannya menerawang, memikirkan berbagai cara untuk mencelakai Dickens. Namun, dalam kondisi terpenjara dan tanpa sekutu, sangat sulit untuk bisa mendapatkan senjata ataupun racun.
Hingga selesai makan, Zalika belum bisa memikirkan cara yang baik untuk meloloskan diri. Ia pun memilih merebahkan diri di pembaringan sementara air matanya mulai menetes. Entah sampai kapan ia harus menjalani hidup penuh penderitaan seperti ini.
Setelah lama termenung, perempuan itu akhirnya jatuh tertidur.
Hingga menjelang tengah malam, Zalika tiba-tiba terhenyak karena seseorang membangunkannya. Ia mengenakan penutup wajah seperti seorang penyusup dan meletakkan telunjuk di mulut sebagai isyarat agar Zalika tidak berteriak.
Sambil melotot karena terkejut, Zalika menatap mata orang itu. Rasanya tidak begitu asing.
"Remnant?" lirih Zalika ketika pria itu membuka penutup wajahnya. Ia tentu mengenali sang kesatria yang telah lama mengabdi untuk Girondin itu.
"Jangan berisik. Aku akan membawamu keluar dari sini," lirih Remnant sambil memasang kembali penutup wajahnya.
Merasa mendapat harapan, Zalika pun langsung bangkit dan mengikuti arahan dari Remnant. Keduanya berjalan mengendap menyusuri lorong kastel yang tengah sepi. Sebagai kepala pasukan, Remnant tentu bisa mengondisikan para prajurit untuk tidak berjaga di rute yang akan dilaluinya.
Dengan jantung berdebar, Zalika terus mengendap. Bulir-bulir keringat membasahi wajah cantiknya. Setelah melewati lorong-lorong berliku, mereka akhirnya tiba di tembok terluar kastel. Di situ, Remnant telah menyiapkan seutas tali tambang untuk mereka turun. Ia tak mau mengambil risiko dengan keluar lewat gerbang utama.
Setelah mengikat tali pada sebuah tonjolan di tembok kastel, ia mengayunkan tangan sebagai isyarat bagi Zalika untuk segera turun.
Berada pada ketinggian sekitar lima meter di atas tanah membuat Zalika ragu sejenak. Ia menatap ke bawah selama beberapa saat sambil berusaha memantapkan hati. Jantungnya terasa berdetak dua kali lebih cepat dari sebelumnya.
"Cepatlah ..." bisik Remnant.
Zalika sadar, ia harus segera bertindak atau kesempatannya akan hilang. Dengan tangan basah dan gemetar, perempuan itu menggenggam erat tali yang telah terjuntai. Kakinya melangkah satu demi satu hingga kini tubuhnya tergantung seluruhnya.
Di tengah tiupan angin malam yang dingin, perempuan itu beringsut turun. Ia tak memedulikan lagi tangannya yang terasa panas karena bergesekan dengan tambang kasar. Napasnya kian memburu. Ketegangan itu terasa memenuhi atmosfer di sekitarnya.
Bagi Zalika, beberapa menit itu terasa seperti berjam-jam. Seluruh tubuhnya pegal sementara tangannya mulai kebas. Keringat dingin pun menetes membanjiri wajah.
Hingga akhirnya ia sudah tak sanggup lagi. Matanya berkunang-kunang dan jemarinya lemas. Saat itu juga, pegangannya pun terlepas. Tubuhnya melayang selama sepersekian detik sebelum akhirnya mendarat. Untung saja, saat itu ia sudah berada sekitar dua meter dari atas tanah sehingga—meski cukup sakit—ia tidak sampai terluka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putra Penyihir - Raung Kehancuran
Fantastik[Buku ketiga dari seri Putra Penyihir] Kehidupan Gladys yang awalnya bahagia berubah nestapa hanya dalam semalam. Tangisnya pecah dari balik jeruji besi, sementara ia tak tahu lagi siapa kawan siapa lawan. Malam itu, ia terusir dari rumahnya dan ter...