Bab 35

97 25 40
                                    

"Tidak ... tidak! Ini tidak adil!" rintih Peter sambil terus memeluk tubuh Anna. Air matanya mengalir deras.

Sementara itu Borin, Jack, Susan, Andrew, dan Gladys hanya bisa menyaksikan pemandangan memilukan itu dalam diam. Mereka bisa merasakan kesedihan mendalam yang dialami Peter.

Di tengah suasana duka itu, Ainsel tiba-tiba berjalan mendekati Peter lalu menjilatinya, seolah berusaha menguatkan pemuda itu. Setelah itu, ia berpaling pada Gladys lalu berbisik padanya, Aku bisa menghidupkannya kembali.

Gladys pun menoleh pada sang unicorn. "Bagaimana caranya?"

Potonglah tandukku dengan kapak dari kristal armelin. Kau akan mendapatkan cairan berwarna keperakan dari dalamnya. Itu adalah intisari keabadianku.

"Intisari keabadian? Itu berarti kau akan kehilangan keabadianmu?"

Ya, tenang saja, aku tak akan mati. Aku hanya akan kehilangan keabadian dan menjadi seperti kuda biasa.

"Kau yakin?" tanya Gladys lagi.

Ya, dia orang yang sangat layak mendapatkan anugerah ini. Aku sudah memberitahunya bahwa ia akan mati dalam perang ini, tapi, ia tak memedulikan itu dan tetap menolong orang lain. Jika ia rela mati untuk orang lain, maka adalah sebuah kehormatan bagiku jika bisa mati untuk kebangkitannya. Ini memang adalah takdirku.

"Terima kasih," bisik Gladys sambil memeluk Ainsel erat. Ia lalu menyampaikan kabar gembira itu pada Peter. 

Perasaan Peter seketika campur aduk. Ada kelegaan karena Anna bisa dibangkitkan, bersyukur atas pengorbanan Ainsel, hingga khawatir mengenai hubungannya sendiri. Seandainya pun Anna bangkit, gadis itu bukanlah miliknya. Ada Andrew yang sudah resmi menjadi suaminya.

Setelah itu, Borin mendekat sambil membawa kapaknya sementara Ainsel berbaring di tanah. "Bersiaplah," ujar Borin sambil mengangkat kapaknya.

Dalam sekali ayun, kapak Borin menghantam tanduk Ainsel dan memotongnya. Seperti apa yang sudah dikatakan oleh sang unicorn, ada cairan perak di dalam tanduk itu. Peter pun segera membawanya pada Anna, lalu menyuapkannya.

Ajaib, dalam beberapa saat, wajah Anna yang semula pucat berangsur-angsur kembali merona. Ia lalu tersentak dalam sebuah tarikan napas yang keras sementara matanya membelalak terkejut. 

"A-apa yang terjadi?" gumam Anna.

Sementara itu, Peter yang kegirangan tak dapat menyembunyikan perasaannya lagi. Ia segera memeluk Anna erat-erat. Air matanya pun jatuh tak terbendung lagi. "Syukurlah, kau kembali," isaknya.

Anna pun membalas pelukan Peter tak kalah erat. Selama beberapa saat, keduanya pun larut dalam renjana.

Namun, sesaat kemudian, Anna melihat Andrew yang berdiri tak jauh darinya. Merasa tak enak, ia spontan melepaskan pelukan Peter.

"Ma-maafkan aku," gumam Anna sambil berusaha menghindari tatapan mata Andrew.

Andrew menghela napas panjang lalu berujar lirih, "Ternyata yang kudengar itu benar."

"A-apa maksudmu?"

"Sebenarnya ada seseorang yang sempat mencuri dengar pembicaraanmu dengan Gladys beberapa hari yang lalu. Ia lalu menyampaikannya padaku. Sebenarnya aku tak mau percaya begitu saja sebelum menanyaimu secara langsung. Namun, sekarang aku sudah melihat semuanya sendiri." Andrew mendesah berat. "Ternyata selama ini kau tak pernah mencintaiku."

"Maaf." Tak ada hal lain yang bisa Anna sampaikan selain permintaan maaf.

Andrew terdiam lagi sambil memandang ke kehancuran di sekitarnya. Ia lalu ganti menatap Anna. "Tak perlu minta maaf. Tak ada yang salah dengan perasaan. Tak ada yang bisa mengendalikannya." 

Putra Penyihir - Raung KehancuranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang