Bab 16

83 23 42
                                    

Waktu terus bergulir semenjak kematian Bram. Suasana duka di kastel Kingsfort perlahan-lahan menguap. Namun, Isabel masih belum bisa melepaskan kepergian kekasihnya itu. Agra dan Julia yang merasa prihatin dengan putrinya pun sepakat untuk mengatur perjodohan Isabel dengan Randall, putra sulung penguasa Arvendale. 

Meski belum siap, Isabel tak berniat untuk menentang niat kedua orang tuanya. Semuanya tak berjalan baik ketika ia mengikuti kata hatinya.

Hari itu adalah hari kedatangan Randall ke Kingsfort. Selain untuk bertemu sang calon istri, ia juga datang untuk menghadiri pesta pernikahan Andrew dan Anna. Setelah sempat tertunda karena kematian Bram, pernikahan pangeran akhirnya akan segera digelar. Saat itu Doria juga telah berhasil ditaklukkan dan menjadi bagian dari Ethardos. Kematian Daniel telah menghancurkan moral para pasukan. Meski Tuan Ramon—penguasa wilayah itu—berhasil lolos, usianya yang sudah tua membuat Agra merasa bahwa ia bukanlah ancaman lagi.

Aula kastel kini tengah dipersiapkan seindah mungkin untuk menggelar pesta pernikahan termegah di seluruh kerajaan. Halamannya pun didekorasi sedemikian rupa untuk menyambut para tamu yang akan datang dari seluruh penjuru negeri.

Kala itu, sang raja tengah berjalan-jalan di halaman kastel sementara Randall datang menyapa. "Selamat pagi, Yang Mulia," sapanya sambil membungkuk hormat.

"Selamat pagi. Tidak perlu terlalu sungkan. Tak lama lagi kau akan menjadi menantuku," sahut Agra sambil menepuk pundak Randall. "Ah, ke mana anak itu. Tadi dia ada di sekitar sini." Agra tampak menoleh ke sekitar untuk mencari putrinya.

"Itu dia," ujar Agra ketika melihat Isabel sedang duduk sendiri di sebuah kursi taman. Ia menatap kosong pada para pelayan istana yang sedang sibuk menghias halaman dengan bunga-bungaan.

"Coba, kau dekati dia," ujar Agra lagi.

Setelah membungkuk sekali lagi, Randall berjalan mendekati Isabel dan menyapanya. "Hai ... aku Randall dari Arvendale."

"Oh ... hai," sahut Isabel sambil berdiri lalu membungkukkan badan seraya mengangkat roknya sedikit.

"Kau tidak keberatan jika aku duduk menemanimu?" tanya Randall sopan.

"Tentu tidak, duduklah." Isabel tersenyum basa-basi. Mereka duduk bersebelahan.

Setelah hening sesaat, Randall menghela napas lalu membuka percakapan. "Di sini sangat indah dan hangat."

"Yah, begitulah," sahut Isabel singkat. "Apakah ini kali pertama kau kemari?"

"Tidak juga. Aku sudah beberapa kali berkunjung ke Kingsfort untuk urusan agama Herod. Kau tahu, di Arvendale ajaran agama adalah sesuatu yang sangat penting."

"Ah ya aku hampir lupa kalau kau dan Bram mendalami ajaran yang sama," sahut Isabel sambil menerawang.

"Kau sendiri? Apakah kau pernah keluar dari Kingsfort?" tanya Randall.

"Aku hanya pernah ke Doria dan Girondin," timpal Isabel. "Sebuah perjalanan yang kuharap tak pernah terjadi."

Melihat raut wajah Isabel berubah sedih, Randall pun terdiam sejenak. "Aku bisa mengerti," ujarnya singkat. Ia lalu tersenyum sekilas. "Hidup terkadang memang sangat keji."

Tak ada reaksi dari Isabel. Keduanya pun hening lagi. Meski para pekerja tampak sibuk mempersiapkan pesta pernikahan, angin sepoi-sepoi diiringi kicauan burung di pepohonan membuat suasana terasa tenang.

"Kau sendiri, apakah sering pergi ke kuil untuk berdoa?"

Isabel menggeleng lemah sebagai jawaban. "Bram pernah beberapa kali mengajariku berdoa, tapi aku tak terlalu menanggapinya serius."

Putra Penyihir - Raung KehancuranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang