Dengan napas menderu dan jantung berdebar, Zalika berpegangan erat pada Remnant yang duduk di depannya, sedang memacu kuda secepat mungkin. Lima orang prajurit utusan Dickens mengejar dari belakang. Meski berhasil keluar dari kota, Dickens rupanya tak membiarkan Zalika lolos begitu saja. Ia mengutus para prajurit untuk terus mencari hingga ke hutan di luar kota.
"Lebih cepat!" teriak Zalika ketika ia melihat para pengejar sudah semakin dekat dan mulai mengangkat busur serta panah mereka. Bagaimanapun kecepatan kuda Remnant lebih lambat karena harus menanggung beban dua orang.
Detik berikutnya beberapa anak panah melesat dan menancap di tanah serta pepohonan. Napas Zalika tertahan karena ketakutan. Rasa nyeri tertusuk panah bahkan sudah terbayang dalam benaknya.
Hingga beberapa saat kemudian, sebuah anak panah melesat mengenai kaki belakang kuda Remnant. Seiring hilangnya keseimbangan sang tunggangan, Zalika dan Remnant jatuh terjerembab. Para pengejar itu pun langsung mengepung mereka.
"Menyerahlah!" hardik salah seorang dari antara prajurit itu.
Namun Remnant memilih bangkit dan mengacungkan pedangnya.
"Kau akan dihukum karena berkhianat!" geram prajurit itu. Ia lalu menarik pedang dan bersiap berduel dengan Remnant.
Namun, belum sempat pedang mereka saling beradu, sekawanan serigala tiba-tiba muncul dari balik pepohonan dan menggeram pada para prajurit. Kuda-kuda mereka pun mulai meringkik gelisah.
"Huh! Serigala sialan! Kau pikir aku takut?" umpat salah seorang prajurit. Ia lalu melepaskan panah dan membunuh salah satu serigala itu.
Namun, di luar dugaan, serigala yang mati itu lenyap tanpa meninggalkan jejak. Tubuh berbulunya berubah menjadi asap dalam sekejap. Sementara itu, serigala-serigala lain terus berdatangan semakin banyak.
"Sial!" umpat sang prajurit. Merasa tak punya kesempatan melawan kawanan serigala yang terus bertambah, mereka akhirnya berbalik dan memacu kudanya pergi. Serigala-serigala itu terus mengejar, memastikan mereka pergi cukup jauh dan tak kembali lagi.
Setelah kondisi aman, Borin muncul dari balik pepohonan sambil menunggang seekor kuda hitam. Sesaat berikutnya, Gladys menyusul bersama Ainsel, sang unicorn.
Remnant dan Zalika terpaku sejenak melihat kuda bertanduk satu. Seumur hidup mereka belum pernah melihat yang seperti itu.
"Kalian tak apa?" tanya Borin sambil melompat turun dari kudanya.
"Uh, ya. Terima kasih sudah menolong," tukas Remnant.
"Sama sekali bukan masalah." Borin lalu berjalan mendekat.
"Tunggu sebentar, kau tampak tak asing?" ujar Zalika sambil menatap Borin.
"Ya, kita pernah bertemu di Girondin saat pecah perang melawan bangsa orc. Aku juga datang di pernikahanmu dengan Dickens."
"Oh ya, namamu—"
"Borin. Aku sahabat Peter."
"Baiklah, sekarang aku ingat. Dan dia?" tanya Zalika sambil menatap Gladys.
"Aku Gladys, putri Gideon, mantan penguasa Fortsouth."
"Mantan?" tanya Remnant. Ia belum mendengar peristiwa nahas di Fortsouth.
"Ya, ayah dan ibuku sudah wafat," sahut Gladys dengan pandangan menerawang, mengenang kembali malam mengerikan itu.
"Aku turut berduka," ujar Zalika. Keheningan lalu menyelimuti suasana selama beberapa saat.
Setelah saling memperkenalkan diri, mereka lalu duduk di bawah pohon untuk beristirahat dan saling bercengkrama. Bagaimanapun, napas Zalika masih belum teratur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putra Penyihir - Raung Kehancuran
Fantasía[Buku ketiga dari seri Putra Penyihir] Kehidupan Gladys yang awalnya bahagia berubah nestapa hanya dalam semalam. Tangisnya pecah dari balik jeruji besi, sementara ia tak tahu lagi siapa kawan siapa lawan. Malam itu, ia terusir dari rumahnya dan ter...