Petang menjelang dan rombongan pasukan dari Girondin sedang bersiap untuk istirahat. Mereka memakan perbekalan dan menyalakan api unggun untuk menghangatkan tubuh. Suasana tegang semakin terasa seiring jarak yang makin dekat ke medan perang. Apalagi Dave, salah satu penyihir andalan Arden sudah pergi dan tak kembali. Mereka tahu bahwa sang loctrum telah gagal dalam misi.
Saat itu Susan juga ada bersama mereka di dekat api unggun. Sementara yang lain bersiap untuk terlelap, Susan masih duduk terjaga. Pikirannya terasa kalut. Semakin hari ia justru semakin bimbang dengan keputusannya berada di pihak pemberontak. Dalam diam, gadis itu membuang pandangannya menerawang ke hutan.
Di luar dugaan, ia menemukan siluet seseorang bertubuh pendek dan gemuk yang berdiri di sela pepohonan. Sosoknya seperti tak asing, mungkinkah itu Borin? gumam Susan.
Terdorong oleh rasa penasaran, gadis itu berkata pada yang lain bahwa dirinya akan pergi sebentar untuk buang air. Ia lalu bergegas memacu langkah menembus kegelapan hutan demi mengikuti sosok itu.
Meski bukan dirinya yang secara langsung membunuh kedua orang tua Borin, ia juga ada di sana dan terlibat dalam pertempuran. Selama ini perasaan bersalah masih terus menghantuinya. Jika dugaannya benar bahwa sosok itu adalah Borin, gadis itu berharap penyesalannya bisa terobati. Dalam hati ia pun mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk seandainya Borin tidak bersedia memaafkannya.
Namun, seiring langkahnya masuk semakin jauh ke hutan, seekor serigala besar berbulu keperakan tiba-tiba muncul menghadang. Susan pun terhenyak dan tak mampu bereaksi apa pun selain diam mematung. Ia tak tahu lagi ke mana sosok yang ia ikuti menghilang.
Dengan jantung berdebar, Susan menoleh ke sekitarnya dan mendapati tiga ekor serigala lagi. Peluhnya menetes di tengah udara malam yang dingin. Binatang-binatang liar itu melangkah pelan mengelilinginya sambil menggeram.
Ketika Susan sudah merasa bahwa petaka akan segera datang, tiba-tiba sosok yang ia cari muncul lagi.
"Susan?" tanyanya keheranan.
"Borin?" sahut Susan. Ternyata dugaannya benar.
"Maaf, serigala-serigalaku menakutimu." Setelah itu, Borin memanggil binatang-binatang itu menjauh lalu menepuk punggung mereka satu per satu, melenyapkannya.
Detik itu juga Susan terpaku menatap Borin. Apa yang terjadi itu langsung mengingatkannya pada pertarungan berdarah melawan Wanda dan Glarmarck—kedua orang tua Borin. Meski sudah berusaha mempersiapkan diri sebelumnya, perasaan bersalah tetap terasa membuncah memenuhi jiwa.
Keduanya lalu saling bertatap dengan canggung. Setelah terpisah sekian lama, begitu banyak pertanyaan yang berseliweran dalam benak keduanya.
"Sepertinya kita harus bertukar cerita mengenai banyak hal," ujar Borin sambil duduk bersila di bawah sebuah pohon.
"Ya," sahut Susan. Ia lalu duduk di hadapan Borin. "Apa yang kau lakukan di tengah hutan selarut ini?" tanyanya membuka percakapan kaku mereka.
"Aku sedang dalam perjalanan menuju Kingsfort bersama kaum dwarf. Kingsfort akan membutuhkan bantuan. Pasukan pemberontak dari Fortsouth dan Girondin akan menyerang," sahut Borin. "Kau sendiri? Dari mana saja kau selama ini? Dan apa yang kau lakukan bersama para pasukan itu? Bukankah mereka adalah para pemberontak?" tanya Borin. Sinar rembulan lembut menerangi wajah Borin yang berkerut penuh tanya dari sela-sela dedaunan.
Susan terdiam sejenak lalu menyahut, "Ceritanya panjang," desahnya. Keringat dingin terasa membasahi telapak tangan. Akhirnya kesempatan itu tiba, momen untuk mengakui segala perbuatannya. Dalam hati, ia memang sudah bertekad untuk mengatakan yang sebenarnya dan menerima apa pun resikonya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putra Penyihir - Raung Kehancuran
Fantasy[Buku ketiga dari seri Putra Penyihir] Kehidupan Gladys yang awalnya bahagia berubah nestapa hanya dalam semalam. Tangisnya pecah dari balik jeruji besi, sementara ia tak tahu lagi siapa kawan siapa lawan. Malam itu, ia terusir dari rumahnya dan ter...