Haus (pt. 1 of 3)

783 50 22
                                    

Haus.

Diambil dari bahasa Jerman yang berarti rumah. Sebuah kedai kecil milik keluarga Min yang kini diambil alih oleh putra bungsu mereka, Min Yoongi. Terletak di pinggiran kota, kedai kecil ini sebenarnya tidak selalu ramai setiap harinya. Meski begitu, Yoongi tidak ada keinginan sedikitpun untuk menutup kedai yang sudah dibuka oleh orang tuanya sejak dia masih anak-anak. Lagipula jika dipikir-pikir, apa yang dia dapatkan dari hasil penjualan nyatanya masih bisa dia gunakan untuk bertahan hidup.

Yoongi tidak memiliki pegawai, semua dia lakukan sendiri. Mulai dari belanja, memasak hingga menyajikan. Toh dia masih sanggup melakukannya. Dan lagi, sebenarnya Yoongi juga tidak menjual makanan mahal yang rumit. Seperti nama kedainya dia hanya akan menyajikan masakan-masakan rumah yang diharapkan bisa membuat para pengunjung merasa nyaman. Meski sesekali, jika ada permintaan khusus dari pelanggan dia mau-mau saja memasakkan apa yang mereka pesan. Selama mereka tidak meminta secara mendadak, selama dia bisa mencari bahan dan bisa membuatnya.

Bicara tentang pengunjung, seperti yang dikatakan di awal pengunjung kedai ini tidak banyak. Tidak bisa menghasilkan tiga puluh orang dalam sehari, tapi tidak bisa disebut sepi juga. Kabar tentang kedai Yoongi seolah menyebar dari mulut ke mulut meski lelaki itu tidak pernah mempromosikannya. Sepertinya, beberapa orang yang pernah datang kesana merekomendasikan tempat itu pada yang lain.

"Permisi."

"Selamat datang," Yoongi membalas sapaan itu disertai senyum lembut, dia menoleh dan mendapati Namjoon berjalan ke arah meja pantry.

"Wah hyung, akhirnya aku kesini lagi," Namjoon memamerkan lesung pipinya.

"Sudah cukup lama ya Namjoon-ah," balas Yoongi. Dia mengecilkan api di kompor dan berbalik ke arah kulkas, menuangkan minuman yang sudah dia siapkan untuk Namjoon sedari tadi.

"Iya, setengah tahun mungkin," jawab Namjoon yang ikut memandang gerak-gerik Yoongi.

Kening Yoongi mengernyit, "Sepertinya tidak selama itu."

Keduanya tertawa setelahnya, meski tidak ada hal lucu selain Namjoon yang melebih-lebihkan -- dan padahal itu sama sekali tidak lucu.

"Bagaimana? Menemukan kayu yang bagus?"

Senyum puas terpatri di wajah Namjoon ketika lelaki itu mengangguk semangat. Namjoon itu penyuka furniture berunsur kayu-kayuan. Dari apa yang dia ceritakan dulunya dia hanya suka memakainya untuk diri sendiri. Namun empat tahun belakangan dia mulai bekerja sama dengan pengrajin kayu langganannya dan menjual beberapa perabot kayu buatan mereka. Namjoon ikut mendesain barang-barang yang ingin dia jual, dia juga datang ke lokasi dan memilih sendiri bahan kayu yang dia inginkan. Sejak dia sering ke wilayah ini karena kepentingannya itu dia mulai menjadi pelanggan tetap Yoongi. Pak tua Lee -- pengrajin kayu yang bekerjasama dengan Namjoon -- yang merekomendasikan kedai Yoongi pada Namjoon.

"Baiklah, ini pembuka untuk self reward hari ini," ujar Yoongi seraya mengangsurkan segelas ice lemongrass mojito pada Namjoon.

"Terima kasih hyung," ujar Namjoon tulus.

Setelahnya, mereka mulai berbincang kecil. Namjoon sedikit mengeluh tentang peminat barang dagangannya yang beberapa bulan mulai menurun. Beruntung ini hanya bisnis sampingannya. Dan lagi-lagi Namjoon berkata tentang betapa menyenangkannya hidup di daerah ini, tidak terlalu banyak polusi seperti di pusat kota. Lelaki itu baru menutup mulutnya ketika odeng, nasi bulgogi dan pork belly steaknya sudah jadi. Yoongi membantunya membawa makanan-makanan itu ke meja di sudut dekat jendela dan Namjoon bersiap untuk makan dengan tenang di sana.

Baru saja Yoongi memulai kegiatannya memotong daun bawang -- untuk disimpan di lemari es -- pintu kedai terdengar terbuka, disusul dengan teriakan khas Jeon Jungkook, salah satu keponakan Yoongi.

Suga's FicsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang